for learn successfull and Healthy Live

Guru Heroik di Tanah Pedalaman

Mei L Heumasse mendedikasikan dirinya untuk pemerataan pendidikan anak usia dini di Timur Indonesia. Mei termotivasi dari orangtuanya dan kehidupannya sebagai anak nelayan.

Melawan Keraguan dengan Keberanian

Penuh Semangat dan Gagasan Imam Robandi. Prof. Imam Robandi menjadi mentor yang menghidupkan kembali semangat Pak Said di saat ia merasa terpuruk. Melalui nasihat, dukungan, dan teladan dari sang guru besar, Pak Said menemukan kembali keyakinannya.

10 Adab Berbicara: Rasulullah ﷺ

1. Adab berbicara: Jangan terlalu berceloteh 2. Adab berbicara: Berbicara dengan Hati-hati 3. Adab berbicara: Berkata yang baik, jika tidak hendaknya diam 4. Adab berbicara: Tidak mencela 5. Adab berbicara: Menghindari dusta 6. Adab berbicara: Menghindari ghibah dan panggilan yang buruk 7. Adab berbicara: Tidak memotong maupun memonopoli pembicaraan 8. Adab berbicara: Menjauhi debat kusir Menjauhi debat kusir 9. Adab berbicara: Merasa kagum pada diri sendiri 10. Adab berbicara: Menjaga suara

Upacara HUT RI Ke-80 dan 2 Bocah Gowa Pengais Sisa Makanan

Ayah Syamsul, Dorra Daeng Ngempo (52), hanya seorang pedagang sayur kelor di pasar tradisional, sedangkan ibu Aidil, Sumiati (39), mengandalkan penghasilan serabutan untuk menyambung hidup. "Memang dia ke sana mau nonton upacara. Daripada mubazir itu kue, jadi dia bawa pulang untuk dimakan," kata Sumiati tentang anaknya.

Gaya Hidup dan Beban Negara

Guru dan Pejabat. kedua jabatan ini kerap menjadi guyonan atau bahan kritikan di media sosial.

Jumat, 02 Agustus 2024

uji kompetensi 1

1.1.5. Uji Kompetensi

A. Pilihan ganda Berilah tanda silang pada pertanyaan berikut dengan benar!

1. Berikut ini adalah pernyataan yang benar mengenai algoritma, kecuali ....

a. Algoritma merupakan prosedur pemecahan masalah

b. Algoritma berisi rangkaian langkah-langkah kerja

c. Algoritma tidak harus menghasilkan output

d. Algoritma pasti memberikan hasil yang sama untuk inputan yang sama

e. Algoritma harus terbatas langkahnya

 

2. Dalam sebuah algoritma, langkah-langkah tidak boleh ambigu. Manakah di antara langkahlangkah dalam sebuah algoritma berikut yang ambigu?

a. “Masukkan satu gelas air putih”

b. “Tuangkan adonan puding ke dalam cetakan”

c. “Jika kue sudah matang, keluarkan kue dari oven”

d. “Kukus adonan selama 20 menit”

e. “Sajikan selagi panas”

 

3. Bagian persiapan dari sebuah algoritma disebut dengan bagian ....

a. Deskripsi

b. Deklarasi

c. Header

d. Preparation

e. Prosedur

 

4. Istilah-istilah yang biasanya muncul pada bagian deskripsi algoritma yang berkenaan installasi software adalah sebagai berikut, kecuali .........

a. Tunggu hingga proses installasi selesai

b. Tekan Tombol Next

c. Masukkan Serial Number

d. Klik ganda ikon

e. Matikan komputer

 

5. Berikut ini alasan mengapa langkah-langkah algoritma tidak boleh ambigu?

  1. Agar algoritma memberikan output yang sama untuk input yang sama 16 Pemrograman Dasar SMK Kelas X Sem 1
  2. Agar algoritma dapat dimengerti oleh pengguna
  3. Agar langkah-langkah algoritma menjadi terbatas atau mempunyai titik henti Manakah di antara pernyataan dia tas yang benar?

a. 1 saja

b. 1 dan 2 saja

c. Semua benar

d. 1 dan 3 saja

e. Tidak ada yang benar

 

B. Essay Buatlah algoritma mengenai cara menghapus software dalam Sistem Operasi Windows 7! 

Share:

Sayyidah Hajar Sang Teladan

 


Mengenal Sayyidah Hajar

Sayyidah Hajar merupakan perempuan berbangsa Qibti atau berasal dari Mesir. Saat itu Nabi Ibrahim beserta istrinya Sayyidah Sarah melakukan perjalanan ke Mesir. Singkat cerita Sayyidah Sarah ditahan oleh Raja Mesir. Hingga Nabi Ibrahim berhasil menyelamatkannya. Melihat Nabi Ibrahim yang berperilaku sangat baik, Raja Mesir menghadiahkan pelayan terbaiknya yaitu Sayyidah Hajar kepada Nabi Ibrahim. Sayyidah Hajar pun pulang bersama Nabi Ibrahim dan Sayyidah Sarah ke Baitul Maqdis, Hebron, Palestina.

Asal-usul Sayyidah Hajar yang sebenarnya bukanlah seorang budak. Melainkan putri Raja dari kerajaan Mesir Hulu. Ketika itu, Mesir terdapat dua kerajaan, yaitu Kerajaan Mesir Hulu yang berbangsa Qibti berbatasan dengan daerah Sudan, dan Kerajaan Mesir Hilir. Kedua kerajaan tersebut kemudian berperang, hingga akhirnya kerajaan Mesir Hulu kalah dan Hajar menjadi tawanan perang.

Menikah dengan Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim menikah dengan Sayyidah Sarah dengan usia pernikahan yang cukup lama, akan tetapi belum diberi keturunan oleh Allah. Sarah pun kemudian meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi Hajar dengan harapan melalui Hajar lah Nabi Ibrahim kemudian di karuniai keturunan. Nabi Ibrahim  awalnya menolak permintaan tersebut. Akan tetapi Sarah terus mendesak Nabi Ibrahim hingga akhirnya Nabi Ibrahim mau menikah dengan Hajar.

Atas izin Allah, tidak lama setelah pernikahan tersebut, Hajar mengandung, dan lahirlah Nabi Ismail ‘alaihissalam. Akan tetapi Sarah juga merupakan perempuan biasa yang memiliki kecemburuan terhadap Hajar yang dikaruniai keturunan. Nabi Ibrahim pun mencari solusi atas permasalahan ini. Kemudian, Allah mengilhamkan Nabi Ibrahim untuk membawa Hajar beserta bayinya ke sebuah tempat yang Allah pilihkan.


Menerima Ketetapan Allah

 Nabi Ibrahim membawa Hajar berjalan ke selatan dari Baitul Maqdis menuju suatu lembah yang dinamakan lembah Bakkah dekat Baitullah, dengan perjalanan kurang lebih selama 15 hari. Sesampainya disana, Allah kemudian memerintahkan Nabi Ibrahim untuk segera kembali ke Baitul Maqdis dan meninggalkan Hajar juga bayi Ismail untuk menetap di sana. Sedangkan saat itu, bekal yang dibawa tidaklah tersisa banyak, juga tempat tersebut belumlah berpenghuni. Nabi Ibrahim dibebani perasaan bimbang untuk meninggalkan istrinya serta anaknya.

Nabi Ibrahim pun berjalan ke utara meninggalkan Hajar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perasaan berat yang tak menentu membebani Nabi Ibrahim sebagai seorang suami juga seorang ayah dari bayi yang baru lahir. Melihat Nabi Ibrahim pergi tanpa mengucapkan apapun, Sayyidah Hajar pun mengejar dan memanggil Nabi Ibrahim juga bertanya “Mengapa engkau tinggalkan kami?”. Mendengar pertanyaan Hajar, Nabi Ibrahim tidak menjawab apapun dan terus melanjutkan langkah dengan berat. Hajar pun bertanya kembali, dan tetap saja Nabi Ibrahim tidak menjawab. Hingga Hajar melontarkan pertanyaan ketiga kalinya, Nabi Ibrahim tetap diam saja.

Sayyidah Hajar kemudian mengganti pertanyaannya, “Apakah ini perintah Allah?”. Mendengar pertanyaan istrinya, Nabi Ibrahim pun berbalik badan dan menjawab “Ya ini perintah Allah”, dan di dalam hatinya Nabi Ibrahim pun yakin bahwa istrinya akan siap dengan perintah Allah. Sayyidah Hajar kemudian berkata, “Jika demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami”. Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan istrinya Hajar dan bayinya Ismail dengan penuh keyakinan kepada Allah.

Ujian dan Pertolongan Allah

Bekal persediaan pun akhirnya habis, air susu Hajar menipis, sehingga bayi Ismail pun menangis hingga tangisannya seperti bayi yang sekarat. Sayyidah hajar pun memutar otak, berikhtiar mencari sumber mata air, makanan, ataupun orang-orang yang dapat dimintai pertolongan. Hajar melihat sekeliling, di sekelilingnya hanyalah gurun pasir yang tandus dan tak berpenghuni. Hajar kemudian naik ke bukit Shafa dengan harapan, dari atas ketinggian ia bisa memandang sekeliling yang lebih luas. Dari atas bukit Shafa Hajar melihat bayang-bayang air di bukit Marwah, Hajar pun berlari ke bukit Marwah, tapi tak menemukan apapun di sana. Dari bukit Marwah, Hajar melihat bayang-bayang air di bukit Shafa, Hajar pun kembali berlari ke bukit Shafa. Sesampainya di bukit Shafa, sama seperti sebelumnya, hingga Hajar berlari bolak-balik dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali. Peristiwa tersebut kemudian menjadi salah satu serangkaian dari Ibadah Haji, yakni Sa’i.


Hajar melakukan ikhtiar semaksimal mungkin juga tawakkal yang begitu kuat kepada Allah. Di tengah kepasrahan Hajar, Allah mengutus Jibril untuk menghentakkan sayapnya tepat di bawah kaki bayi Ismail sehingga keluarlah mata air. Sayyidah Hajar kemudian mengumpulkan air tersebut dengan berkata “Zam.. zam.. zam..”. Dari peristiwa tersebutlah kemudian mata air tersebut disebut Zam-zam. Yang mana air zam-zam abadi hingga kini, menjadi air terbaik di dunia. Karena keteguhan Hajar, Kota Makkah menjadi kota yang ramai dihuni. Menjadi pusat peradaban  dan tempat bersatunya Umat Islam dari penjuru dunia, khususnya ketika Ibadah Haji.  

Keberhasilan Didikan Sayyidah Hajar kepada Ismail

Meskipun Hajar dan Ismail tinggal berjauhan dengan Nabi Ibrahim, bahkan bertahun-tahun tidak bertemu, akan tetapi Hajar mampu memberikan kasih sayang, memberikan pendidikan yang baik, dan membangun jiwa Ismail dengan kisah yang menggambarkan sosok ayahnya yakni Nabi Ibrahim. Hajar tidak pernah lengah dalam mendidik Ismail. Hajar mengenalkan Ismail tentang Rabbnya, mengajarkan tauhid seperti yang diajarkan Ibrahim sehingga risalah tauhid tertanam kuat pada diri Ismail.

Keberhasilan didikan Hajar juga dibuktikan ketika Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim mendapat perintah tersebut melalui mimpi secara berturut-turut. Ibrahim kemudian mengutarakan perintah tersebut kepada anaknya Ismail. Perasaan Ibrahim tak menentu, merasa berat hati jika harus mengorbankan anak semata wayangnya tersebut dan merasa takut dengan jawaban Ismail. Dialog antara Nabi Ibrahim diabadikan oleh Allah dalam Qs. Ash-Shafat ayat 102. Ismail menjawab “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) padamu, insyaaallah engkau mendapatiku sebagai orang yang sabar”. Mendengar jawaban Ismail, legalah hati Ibrahim dan bersyukur kepada Allah.


Sayyid Quthb berkata dalam Fi Zhilalil Qur’an Ismail menerima perintah tersebut tidak hanya dengan ketaatan dan penyerahan diri yang tulu, melainkan juga dengan keridhaan dan keyakinan yang mantab. Ini lah bukti keberhasilan Sayyidah Hajar dalam mendidik Ismail, walaupun mendidik Ismail sendirian jauh dari Ibrahim, akan tetapi Hajar mampu menanamkan jiwa-jiwa ketauhidan yang tinggi kepada Ismail. Jika saja Ismail tidak dididik dengan baik, ia bisa saja membantah ayahnya yang bertahun-tahun tidak tinggal bersamanya.

Meneladani Sosok Sayyidah Hajar

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sosok Hajar. Beliau merupakan seseorang yang memiliki pendirian teguh, penghambaan kepada Allah yang baik, menerima segala ketetapan Allah, menaati suaminya, serta ikhtiar dan tawakal semaksimal mungkin kepada Allah. Hingga peristiwa yang dialami oleh Hajar diabadikan oleh Allah menjadi satu rukun dalam Ibadah Haji yaitu Sa’i. Selain itu juga air Zam-zam masih kita rasakan manfaatnya sampai sekarang.

Share:

Pentingnya Akhlak di Masa Digital



Dalam kitab suci Al-Qur’an banyak sekali ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak. Entah perintah untuk melaksanakan sesuatu yang baik ataupun larangan untuk menjauhi sesuatu yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa sangat pentingnya akhlak dalam ajaran islam.

Menurut al-Ghazali, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan macam-macam perbuatan antara baik atau buruk, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan jangka panjang; sehingga dengan mudahnya seseorang melakukan sesuatu.

----

Akhlak bukanlah suatu perbuatan atau kekuatan, melainkan suatu keadaan jiwa yang berbentuk bathiniah. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak merupakan keadaan jiwa yang membawa dampak bagi seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Akhlak tidak bersifat logis ataupun dorongan nafsu.

Secara umum, akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak yang baik (mahmudah) dan akhlak yang buruk (mazmumah). Akhlak mahmudah adalah segala perbuatan atau tindakan yang terpuji dan mempunyai kelebihan (fadlilah). Sedangkan, akhlak mazmumah ialah segala perbuatan atau tindakan yang tidak terpuji (tercela).

Akhlak yang baik tidak sekadar diberikan kepada sesama manusia saja, tetapi kepada seluruh sesama makhluk Allah Swt. yang diciptakan di alam semesta ini. Akhlak yang buruk dapat menciptakan dampak negatif dan berakibat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Al-Ghazali berpendapat bahwa karakteristik akhlak dibagi menjadi 4, yaitu kekuatan ilmu (hikmah), kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan (keadilan). Dari keempat kriteria menjadi persyaratan wajib untuk menggapai tingkatan akhlak yang baik secara keseluruhan.

----

Pendapat aliran nativisme terkait faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku akhlak yaitu faktor yang telah dibawa manusia sejak lahir. Seperti, kecenderungan dari dalam diri seseorang. Ibarat jika seseorang memiliki kebiasaan yang baik, maka dengan otomatis seseorang tersebut menjadi baik.

Pendapat aliran empiris bahwa faktor yang paling mempengaruhi perilaku akhlak adalah faktor dari luar. Seperti cara orang tua yang mendidik anaknya, jikalau anak tersebut mendapatkan didikan yang baik, maka anak tersebut jadilah baik atau malah sebaliknya.

Adapun faktor dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berasal dari luar dirinya dan sangat besar dampaknya terhadap perbuatan seseorang. Seperti lingkungan pergaulan yang dapat mempengaruhi tindakan seseorang baik di dalam rumah tangga, sekolah, masyarakat.

Menurut al-Ghazali, ada dua metode yang dapat dilakukan seseorang agar berakhlak baik. Yang pertama, membiasakan diri melaksanakan amal shaleh dengan penuh keikhlasan. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang agar menjadi kebiasaan yang baik.

Sedangkan, cara menempuhnya yaitu dengan meminta karunia Allah Swt., agar segala nafsu maupun amarah dapat dikendalikan ke jalan yang benar. Selanjutnya, dengan menempatkan diri kepada perilaku-perilaku yang dikehendaki oleh akhlak tersebut.

Sebagaimana contoh dari perbuatan akhlak yang baik kepada Allah Swt. yaitu berserah diri kepada Allah Swt., selalu bersifat tawaduk kepada Allah Swt., tidak lupa mengharapkan rida dari Allah Swt. dan senantiasa melaksanakan perintah Allah Swt. serta menjauhi larangannya.

----

Contoh berakhlak yang baik terhadap sesama manusia yaitu selalu menghormati dan menghargai kedua orang tua, berbuat baik kepada sesama teman, selalu berprasangka baik dan rendah hati. Selain itu, ada pula akhlak yang baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah Swt. yaitu selalu menyayangi dan melindungi terhadap binatang maupun tumbuhan.

Menurut pendapat M. Ali Hasan, tujuan inti dari adanya seseorang yang berakhlak ialah agar seseorang dapat berbudi pekerti dan bertingkah laku yang baik serta beradat istiadat dari satu generasi ke generasi lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Akhlak yang agung akan selalu terlihat perihal pengabdiannya terhadap Allah Swt., terhadap lingkungan sekitar baik antar sesama manusia maupun sesama makhluk ciptaan Allah Swt. Akhlak yang agung dapat memberikan kita kebaikan serta kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.

Rasulullah bersabda yang artinya, “Orang-orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah dirinya yang memiliki akhlak baik (mahmudah). Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya kepada pasangannya.” (HR. Tirmidzi)

Dengan berakhlak mulia, kita dapat menikmati ketenangan dalam hidup, dapat lebih dihormati dan dihargai seseorang, menjadikan kita selalu optimis dan berpikir positif. Tak lupa selalu dalam lindungan Allah Swt. dan terhindar dari hal-hal yang negatif.

Oleh karena itu, jadilah seseorang yang berakhlak mulia maupun terpuji, karena dengan mempunyai akhlak yang baik (mahmudah) dapat memberikan keistimewaan serta keberkahan dalam hidup dan selalu menjerumuskan kepada hal-hal yang positif.


Share:

Sabar di Zaman Digital

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa modernitas lebih identik dengan pola informasi cepat. Hal itu selama berjalan dalam koridor norma-norma kebaikan dan agama kemudian masih dalam bingkai kebenaran dan aturan hukum. Kita sepakat bahwa hal tersebut sangat berguna dan dalam satu sisi membantu dalam mentransformasikan nilai-nilai keluhuran.

Di sisi lain arus informasi itu tidak selamanya sejalan dengan etika ke-Indonesia-an dan berseberangan dengan ajaran agama. Maka ketika hal tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran agama atau norma-norma kesusilaan maka kita harus mengambil sikap hati-hati dan selektif. Jangan mudah menyebarkannya tanpa meneliti dan menelaahnya lebih jauh dan mendalam. Oleh karena itu, di sinilah sabar mempunyai peran krusial dan urgen yang harus muncul dan menjelma menjadi rem dan filter sekaligus menjadi anti virus.


Sabar sering disandingkan dengan kata tabah. Kata sederhana yang ringan diucapkan dan mudah disampaikan. Sabar merupakan kunci untuk membuka kemelut permasalahan; menjadi alat yang menghubungkan keretakan personal maupun kompleksitas problem masyarakat. Berasal dari bahasa arab yang sering diartikan sebagai menahan diri atas ketidakenakan atau menahan diri dalam posisi kurang atau tidak nyaman.

Sabar menjadi penanda bagi ketercapaiannya cita-cita atau harapan. Segala sesuatu yang kita kerjakan harus selalu diliputi dengan sabar. Sabar harus selalu ada di awal, tengah dan akhir pekerjaan kita. Ia adalah bagian terpenting bagi kesuksesan dan keteraturan hidup dan kehidupan yang kita jalani. Dalam satu hadis dijelaskan bahwa sabar itu terlihat sebagai karakter seseorang pada saat hentakan pertama/ awal mula cobaan itu datang ( al shadamatu al ula). 

Bisa kita bayangkan tanpa karakter sabar yang harus selalu kita latih, perilaku semena-mena dan semaunya akan sering kita jumpai. Dan semena-mena atau semaunya cenderung mengarah kepada merusak dari pada membangun. Memang hal itu sudah dijelaskan Allah bahwa karakter dasar manusia adalah tergesa-gesa (QS; 17:11). Dan oleh karena itu dalam banyak ayat dalam Al Qur’an sering dijelaskan tentang pentingnya sabar dalam segala kondisi dan situasi.

Sabar harus menghentikan aktifitas kita sejenak untuk lebih memberikan ruang pada akal pikiran untuk mencerna hal tersebut secara cepat dan akurat; tentunya memperbanyak literasi sebagai pengkayaan terhadap cakrawala pengetahuan.

Fenomena “share” dengan hanya mengacu pada judul tanpa melihat dan mencermati konten yang ada dalam suatu berita menjadi lumrah. Hal ini menghilangkan akal berpikir kita untuk sejenak tidak menjadi manusia yang seutuhnya (manusia adalah hewan yang berpikir). Bukankah segala sesuatu pasti mempunyai sisi baik dan buruk?. Mempunyai sisi positif dan sisi negatif, baik dualitas tersebut berkaitan dengan kontennya atau dengan suasanan dan kondisi yang melingkupi berita tersebut.

Dalam ayat terakhir Surat Ali imron ayat 200, sangat jelas bahwa sebagi seorang beriman kita mendapat perintah untuk melakukan tiga hal supaya kita beruntung dalam segala hal. Pertama; bersabar terhadap diri kita sendiri (al sabru ala nafsihi). Termasuk menahan ketergesa-gesaan dalam menjalankan ibadah sholat dan sikap semaunya dalam mengambil keputusan dan dalam menilai sesuatu yang belum jelas kevalidannya. Maka urgennya tabayyun terhadap sesuatu yang masih abu menjadi sebuah keniscayaan seperti dalam QS: 49 : 6, dan hal tersebut bukan menghilangkan kerja cepat tapi itu sebuah kecermatan.

Kedua; sabar terhadap lingkungan luar termasuk sabar terhadap orang lain (mushabaroh atau al sabru ala ghairihi). Sebagai pengingat bahwa sabar memang sarat yang harus ada dalam hubungan antara sesama. Bagaimana kita bersabar terhadap sikap dan ucap yang tidak sesuai dengan cara pandang kita. Hal itu sebagai upaya untuk mengikis ego manusia yang sejak lahir memang selalu tumbuh dan berkembang.


Dan ketiga; harus menjalin hubungan (murobathoh) dengan kesemuanya, baik dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan atau alam. Dan yang ketiga ini bisa dikatakan sebagai kilas balik terhadap sikap kita terhadap diri kita, orang lain maupun lingkungan luar. Kemudian terwujudnya ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk keberuntungan kita baik di dunia misalnya terciptanya sebuah keharmonisan, ketentraman dan terjalin sebuah ikatan persaudaraan dan yang tak kalah penting adalah keberuntungan kita di akhirat. Bukankah sa’adatu al-daaraini (bejo dunyo akhirat) merupakan impian setiap manusia?

Share:

Ibadah Tapi Masih Maksiat, Begini Kata Ustaz AH


Bukankah semakin rajin ibadah seharusnya semakin menjauh dari maksiat? Tentu kita sering mendengar istilah-istilah seperti “rajin shalat kok marah, rajin ngaji kok zhalim, rajin ibadah kok maksiat” tentu yang salah bukanlah ibadahnya tetapi si pelaku ibadah. Begini penjelasan Ustadz Adi Hidayat.

Allah SWT berfirman dalam satu Hadits Qudsi ”Sesungguhnya Aku (Allah) hanya akan menerima shalat dari hamba yang dengan shalatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong kepada  makhluk-Ku yang lain, tidak mengulangi maksiat kepada-Ku, menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan muliakan shalat hamba itu dengan  kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat untuk menjaganya. Dan kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankannya. Perumpamaan dia dengan  makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan Firdaus di surga.”


Antara Ta’at, Maksiat, dan Lagha

Kita mungkin pernah melihat, ada orang salat tapi masih berbuat perkara tidak penting. Ustadz Adi Hidayat dalam tanya jawab MIRA memaparkan antara ta’at dan maksiat. Di antara keduanya Ustadz Adi menyebutkan “lagha” atau hal yang tidak penting. “Lagha” ini belum tentu dosa, tetapi banyak yang tidak menyukainya karena berpotensi mendekatkan pada maksiat dan melupakan ibadah.

Kita ambil contoh, maksiat yang jelas berdosa dari segi aspek penglihatan. Misalnya melihat yang terlarang, pornografi apalagi porno aksi dan hal-hal lain yang Allah benci sudah jelas maksiat. Berbeda jika menonton film, itu tidak ada unsur melihatkan langsung aspek maksiatnya. Sedangkan lagha adalah melalaikan ta’at, membuang waktu sia-sia. Waktu untuk membaca Al-Quran terbuang begitu saja dan waktu untuk mengasah otak jadi berkurang.


Penjelasan Ustadz Adi Hidayat tentang Tingkatan Iman


Dalam Islam, gambaran keimanan itu ditunjukkan dengan perbuatan amal shaleh. Ustadz Adi Hidayat menjelaskan dalam sesi tanya jawab tersebut bahwa tingkatan iman terbagi menjadi tiga. Pertama, iman dasar. Makna “aamana” yaitu iman yang standar. Tanda standar iman ditunjukkan dengan amalan-amalan atau ibadah yang dikerjakan hanya yang sifatnya menggugurkan kewajiban saja. Standarnya iman terlihat ketika mengerjakan salat. Mereka hanya mengerjakan salat wajib saja, belum tergerak mengerjakan salat-salat sunnah. Jadi feedback atau timbal balik dari ibadah yang mereka dapatkan juga standar.

Misalnya fungsi shalat adalah mencegah yang keji dan munkar. Mereka yang hanya mengamalkan ibadah shalat wajibnya saja, secara standar maka yang tercegah juga hanya perbuatan keji dan munkar yang sifatnya standar. Karena itu salat tidak dapat mencegah godaan yang melebihi batas standar. Inilah yang menyebabkan orang yang salat masih melakukan maksiat.

Untuk mencegah godaan-godaan yang berat atau melebihi standar maka seseorang harus menaikkan level keimanannya. Kata “aamana” berubah menjadi mudhari’ dengan “yu’minu” bermakna ketersambungan, konsistensi akan iman, terus berlatih agar menjadi kebiasaan. Iman yang naik level terlihat dari ibadah yang juga naik levelnya. Seperti shalat tidak hanya melaksanakan yang wajib saja tapi juga yang sunnah-sunnah. Hal ini agar benteng kita makin kuat dan bisa memfilter godaan-godaan yang melebihi standar.

Jika sudah berusaha untuk istiqamah menaikkan level ibadah menjadi kebiasaan dan melekat akan hal itu maka levelnya menjadi “mu’min” atau jamaknya “mu’minun”. Dalam tingkat ini bukan lagi soal kuantitas ibadah, tapi juga kualitas ibadah. Dengan ibadah yang berkualitas itu tentu akan meninggalkan hal-hal yang tidak penting. Misalnya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca Al-Qur’an, menulis dan sebagainya.


Rajin ibadah tapi Masih Bermaksiat, Apa Faktornya?

Kenapa rajin ibadah tapi masih bermaksiat? Dari pemaparan Ustadz Adi Hidayat mengenai iman dapat kita pahami bahwa ketika iman kita standar maka godaan-godaan di atas standar tidak bisa kita cegah, dan maksiat akan muncul. Ketika iman meningkat, maka potensi-potensi maksiat di atas standar yang tadinya tidak bisa dicegah, kali ini bisa ditangani. Namun “lagha” atau hal-hal yang tidak penting masih bisa mempengaruhi iman kita di level ini. Maka, “lagha” inilah yang membuka jalan untuk bermaksiat. Ketika kita sibuk melakukan hal-hal yang tidak penting atau kurang bermanfaat, potensi-potensi untuk maksiat dapat mempengaruhi kita.

Bagaimana cara mencegah “lagha” ini? tentu dengan meningkatkan kualitas ibadah. Jika tadinya kita meningkatkan kuantitas, maka kali ini kualitas ibadah juga harus ditingkatkan. Seperti ketika shalat misalnya, mereka sudah banyak melaksanakan amalan shalat sunnah. Maka sekarang saatnya meningkatkan kualitas shalatnya dengan berusaha lebih khusyu’. Maka dengan berusaha meningkatkan kualitas ibadah inilah setan yang tadinya bisa menggoda lewat jalur “lagha” ini bisa tercegah. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan oleh Allah untuk tetap istiqamah dalam kebaikan. Wallahu a’lam bisshawab.

Share:

Nabi Musa dan Nabi Khidr



Kita sebagai umat Islam pasti sudah mengetahui akan ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun, yaitu surat al-Alaq ayat 1-5. Dalam ayat tersebut, terdapat banyak petunjuk dan maksud yang tidak terbatas. Diawali dengan kata Iqra (bacalah) ini merupakan fi’il amr (kata perintah). Maksudnya perintah yang pasti dan tegas untuk membaca, juga motivasi untuk belajar dan mengajar membaca.


Perintah kepada nabi Muhammad agar meminta tambahan ilmu

Dalam ayat al-Qur’an yang lain terdapat perintah guna penegasan masalah dan motivasi agar senantiasa meminta tambahan ilmu. Sebagaimana Allah berfirman:


فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلْمَلِكُ ٱلْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰٓ إِلَيْكَ وَحْيُهُۥ ۖ وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا

“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thaha (20) : 114)

Ibnu Qayyim di dalam kitabnya Miftah Dar as-Sa’dah ia berkata: ” ayat ini cukup menjadi bukti kemuliaan ilmu. Yaitu, Allah memerintahkan nabi-Nya agar meminta tambahan ilmu pengetahuan.”

Imam Zamakhsyari’ di dalam kitabnya al-Kasysyaf, ia berkata: ayat ini mengandung ketawadhu’an dan rasa syukur kepada Allah, ketika seseorang mengetahui urutan belaajar. Seakan-akan mengatakan, “Wahai Rabbku, engkau telah mengajariku kelembutan dan adab baik yang tidak ada padaku di dalam mencari ilmu. Oleh karena itu, tambahkanlah ilmuku, karena sesungguhnya engkau mempunyai ilmu dan hikmah dalam segala sesuatu”. Seorang penuntut ilmu itu tidak boleh merasa cukup, karena ilmu itu luas sehingga Allah memerintahkan untuk selalu meminta tambahan ilmu.


Kisah Nabi Musa meminta tambahan ilmu

Seorang penuntut ilmu jika semakin bertambah ilmunya maka bertambah juga wawasannya tentang keutamaan dan kedudukan ilmu. Namun juga, ketawadu’annya juga meningkat, karena ilmu bagaikan padi, semakin berisi semakin merunduk. Maknanya, penuntut ilmu tidak layak sombong dan angkuh karena ilmunya.

” Ketika Musa as. sedang berada di kerumunan Bani Israil, tiba-tiba seseorang mendatanginya, lalu bertanya “Adakah orang yang lebih berilmu darimu?”, nabi Musa menjawab “tidak”. Lalu Allah menyampaikan wahyu kepadanya, ” tentu saja ada, yaitu hamba-Ku yang bernama Khidhr”. Kemudian nabi Musa meminta agar bertemu dengannya”.

Dalam perjalanan jauh menuju ke arah Barat, nabi Musa bertemu dengan orang yang mendapat karunia ilmu yang melimpah. Lalu, nabi Musa bertanya kepada orang itu yang tidak lain adalah nabi Khidhr untuk menjadi muridnya. Nabi Khidhr menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku dan bagaimana engkau akan bersabar atas sesuatu, sedangkan engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu?

Kisah nabi Khidhr dan nabi Musa dimulai. Akan tetapi, nabi Khidhr meminta agar nabi Musa tidak menanyakan sesuatu apa pun sampai ia sendiri menjelaskannya. Keduanya pun melakukan perjalanan dengan menaiki sebuah perahu. Namun, di tengah perjalanan nabi Khidhr melubangi perahu itu. melihat hal itu, nabi Musa bertanya alasan ia melubangi perahu. Karena hal itu, bisa membuat penumpang di atasnya tenggelam. Nabi Khidhr mengingatkannya bahwa nabi Musa tidak akan tahan bersamanya. Lalu cerita selanjutnya, aat ia bertemu dengan seorang anak muda dan membunuhnya.

Nabi Musa pun heran dan bertanya-tanya kenapa nabi Khidhr melakukan itu? Lalu nabi Khidhr pun mengingatkannya lagi bahwa nabi Musa tidak akan mampu bersabar akhirnya nabi Musa diam dan melanjutkan perjalanan dengan nabi Khidhr. Sesampainya di sebuah kota, mereka berdua meminta untuk dijamu oleh penduduk. Tetapi, para penduduk tdak mau menjamu mereka. Nabi Khidhr melihat dinding rumah yang hampir roboh dan ia membenarkannya. Melihat hal itu, nabi Musa pun mengatakan bahwa nabi Khidhr bisa saja meminta imbalan sebagai gantinya. Mendengar hal itu, nabi Khidhr memutuskan untuk berpisah dengan nabi Musa.

Nabi Khidhr pun menjelaskan berbagai pelajaran yang terjadi selama perjalanan dengan nabi Musa. Ia mengatakan bahwa perahu yang ia lubangi merupakan milik orang miskin. Sedangkan di depannya terdapat raja yang merampas setiap perahu, maka ia melakukan hal itu untuk menyelamatkan perahu tersebut. Kemudian, anak muda yang dibunuh itu seorang kafir. Sementara orantuanya mukmin, sehingga ia khawatir anak itu membawa orang tuanya dalam kekafiran. Terakhir, ia menjelaskan perihal dinding rumah yang beliau perbaiki. Menurutnya, rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua.


Pelajaran Kisah Musa as. Menuntut Imu

Di dalam kitab al-Mufhim Abu Abbas al-Qurthubi menyampaikan bahwa dalam kisah Musa terdapat beberapa pelajaran; yaitu: perjalanan seorang ulama untuk mencari tambahan ilmu, serta dianjurkannya memanfaatkan pertemuan dengan orang-orang baik dan para ulama meskipun jaraknya jauh. Dengan sebab itu, mereka memperoleh bagian yang banyak dan mencapai usaha yang sukses. Ilmu mereka semakin mendalam dan mereka pun pantas dikenang dan mendapat pahala.

Dalam kitab Fathul Bari Ibnu Hajar al-Atsqalani meyampaikan bahwa “kedudukan nabi Musa yang tinggi dan terhormat tidak menghalanginya untuk mencari ilmu dan mengarungi lautan demi ilmu, bahkan meminta tambahan ilmu”.

Al-Mawardi di dalam kitabnya Umdah al-Qari menyebutkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Jika seseorang merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya, maka nabi Musa juga akan merasa cukup dengan ilmunya. Padahal dalam surat al-Kahfi ayat 66 dia berkata, “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajariku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Share: