Tidak bisa dipungkiri bahwa modernitas lebih identik dengan pola informasi cepat. Hal itu selama berjalan dalam koridor norma-norma kebaikan dan agama kemudian masih dalam bingkai kebenaran dan aturan hukum. Kita sepakat bahwa hal tersebut sangat berguna dan dalam satu sisi membantu dalam mentransformasikan nilai-nilai keluhuran.
Di sisi lain arus informasi itu tidak selamanya sejalan dengan etika ke-Indonesia-an dan berseberangan dengan ajaran agama. Maka ketika hal tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran agama atau norma-norma kesusilaan maka kita harus mengambil sikap hati-hati dan selektif. Jangan mudah menyebarkannya tanpa meneliti dan menelaahnya lebih jauh dan mendalam. Oleh karena itu, di sinilah sabar mempunyai peran krusial dan urgen yang harus muncul dan menjelma menjadi rem dan filter sekaligus menjadi anti virus.
Sabar sering disandingkan dengan kata tabah. Kata sederhana yang ringan diucapkan dan mudah disampaikan. Sabar merupakan kunci untuk membuka kemelut permasalahan; menjadi alat yang menghubungkan keretakan personal maupun kompleksitas problem masyarakat. Berasal dari bahasa arab yang sering diartikan sebagai menahan diri atas ketidakenakan atau menahan diri dalam posisi kurang atau tidak nyaman.
Sabar menjadi penanda bagi ketercapaiannya cita-cita atau harapan. Segala sesuatu yang kita kerjakan harus selalu diliputi dengan sabar. Sabar harus selalu ada di awal, tengah dan akhir pekerjaan kita. Ia adalah bagian terpenting bagi kesuksesan dan keteraturan hidup dan kehidupan yang kita jalani. Dalam satu hadis dijelaskan bahwa sabar itu terlihat sebagai karakter seseorang pada saat hentakan pertama/ awal mula cobaan itu datang ( al shadamatu al ula).
Bisa kita bayangkan tanpa karakter sabar yang harus selalu kita latih, perilaku semena-mena dan semaunya akan sering kita jumpai. Dan semena-mena atau semaunya cenderung mengarah kepada merusak dari pada membangun. Memang hal itu sudah dijelaskan Allah bahwa karakter dasar manusia adalah tergesa-gesa (QS; 17:11). Dan oleh karena itu dalam banyak ayat dalam Al Qur’an sering dijelaskan tentang pentingnya sabar dalam segala kondisi dan situasi.
Sabar harus menghentikan aktifitas kita sejenak untuk lebih memberikan ruang pada akal pikiran untuk mencerna hal tersebut secara cepat dan akurat; tentunya memperbanyak literasi sebagai pengkayaan terhadap cakrawala pengetahuan.
Fenomena “share” dengan hanya mengacu pada judul tanpa melihat dan mencermati konten yang ada dalam suatu berita menjadi lumrah. Hal ini menghilangkan akal berpikir kita untuk sejenak tidak menjadi manusia yang seutuhnya (manusia adalah hewan yang berpikir). Bukankah segala sesuatu pasti mempunyai sisi baik dan buruk?. Mempunyai sisi positif dan sisi negatif, baik dualitas tersebut berkaitan dengan kontennya atau dengan suasanan dan kondisi yang melingkupi berita tersebut.
Dalam ayat terakhir Surat Ali imron ayat 200, sangat jelas bahwa sebagi seorang beriman kita mendapat perintah untuk melakukan tiga hal supaya kita beruntung dalam segala hal. Pertama; bersabar terhadap diri kita sendiri (al sabru ala nafsihi). Termasuk menahan ketergesa-gesaan dalam menjalankan ibadah sholat dan sikap semaunya dalam mengambil keputusan dan dalam menilai sesuatu yang belum jelas kevalidannya. Maka urgennya tabayyun terhadap sesuatu yang masih abu menjadi sebuah keniscayaan seperti dalam QS: 49 : 6, dan hal tersebut bukan menghilangkan kerja cepat tapi itu sebuah kecermatan.
Kedua; sabar terhadap lingkungan luar termasuk sabar terhadap orang lain (mushabaroh atau al sabru ala ghairihi). Sebagai pengingat bahwa sabar memang sarat yang harus ada dalam hubungan antara sesama. Bagaimana kita bersabar terhadap sikap dan ucap yang tidak sesuai dengan cara pandang kita. Hal itu sebagai upaya untuk mengikis ego manusia yang sejak lahir memang selalu tumbuh dan berkembang.
Dan ketiga; harus menjalin hubungan (murobathoh) dengan kesemuanya, baik dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan atau alam. Dan yang ketiga ini bisa dikatakan sebagai kilas balik terhadap sikap kita terhadap diri kita, orang lain maupun lingkungan luar. Kemudian terwujudnya ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk keberuntungan kita baik di dunia misalnya terciptanya sebuah keharmonisan, ketentraman dan terjalin sebuah ikatan persaudaraan dan yang tak kalah penting adalah keberuntungan kita di akhirat. Bukankah sa’adatu al-daaraini (bejo dunyo akhirat) merupakan impian setiap manusia?
0 comments:
Posting Komentar