for learn successfull and Healthy Live

Persib selangkah menuju Juara

Kemenangan penting dipetik Persib Bandung atas Madura United di leg I final Championship Series Liga 1 2023-2024, pada Minggu (26/5/2024) malam WIB.

Anime

Dragonball Ultra instinct Goku vs Jiren

Juknis Dana BOS 2024 PDF dan Cek Pencairannya

Cara cek penyaluran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tahap 1 tahun 2024 bisa dilakukan via laman Kemdikbud. Sedangkan juknis dana BOS tercantum dalam Permendikbud Nomor 63 tahun 2023.

8 Manfaat Biji Pepaya untuk Kesehatan dan Cara Konsumsinya

Manfaat Biji Pepaya Ada beberapa manfaat dari mengkonsumsi biji pepaya untuk kesehatan tubuh, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Menurunkan Risiko Penyakit Kanker

Resep Kue Tradisional

Langkah pembuatan kue cucur: 1. Masak air dengan gula pasir dan gula merah sambil diaduk rata, lalu dinginkan. 2. Campur tepung terigu, tepung beras, dan bubuk kayu manis.

Senin, 29 Juli 2024

Fatima al-Fihri - Pendiri universitas tertua di dunia

Nama Fatima al-Fihri memang masih sangat asing terdengar. Perempuan kelahiran Kairouan, Tunisia ini bisa dibilang sebagai pendiri universitas pertama di dunia, yaitu Universitas Universitas Al-Qarawiyyin Fez, yang terletak di Maroko. Universitas ini didirikan oleh Fatima pada abad ke-9.

Saat ini, Guinness Book of World Records dan UNESCO mengakui universitas yang didirikan oleh Fatimah ini sebagai lembaga pendidikan tinggi tertua yang masih aktif hingga kini.

Fatima sendiri merupakan anak perempuan dari pebisnis, Muhammad al-Fihri. Pada abad ke-8, sang ayah membawa Fatima dan keluarga besarnya untuk pindah ke Fez, Maroko. Di sana, usaha ayahnya berkembang pesat dan Muhammad al-Fihri pun menjadi salah satu pebisnis sukses dan kaya raya di Fez.

Menurut HuffPost, setelah ayah dan keluarganya meninggal, Fatima mendapatkan warisan dalam jumlah yang sangat banyak dari keluarganya. Ia pun ingin menggunakan uang tersebut untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.


Akhirnya, pada 859 M Fatima memutuskan untuk membangun sebuah masjid bernama Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko. Ia melakukannya karena melihat bahwa masjid-masjid di kawasan Fez sangat kecil dan kadang tidak layak. Kemudian pada abad ke-10 sampai ke-12, masjid tersebut berkembang menjadi sebuah universitas bernama Universitas Al-Qayrawan.

Fatimah Al-Fihri lahir pada 800 Masehi di Kairouan, Tunisia. Ia adalah anak perempuan Abdullah Muhammad Al-Fihri yang kesohor sebagai salah satu pedagang kaya yang berhijrah dari Kairouan, Tunisia, kemudian ke Fes, Maroko di waktu Raja Idris II berkuasa.

Suami Fatimah merupakan orang kaya yang berkelapangan harta. Ketika suaminya meninggal, Fatimah mendapat warisan yang berlimpah ruah. Demikian pula harta dari ayahnya yang turut diwarisi oleh Fatimah dan Mariam Al-Fihri.

Akan tetapi, Fatimah Al-Fihri lebih memilih mewakafkan harta yang ia miliki demi kepentingan umat dan mendirikan Masjid Al-Qarawiyyin. Selain itu, ia juga membangun masjid lain bernama Al-Andalus di kawasan lainnya yang membutuhkan tempat ibadah.

Ketika Fatimah melihat kondisi masjid di Fes yang sudah tidak lagi bisa menampung umat Islam, ia pun membantu memperbesar masjid tersebut.

Di sisi lain, kecintaan Fatimah terhadap ilmu pengetahuan membuatnya berpikir untuk menggabungkan madrasah dan masjid. Tujuannya, agar umat tidak hanya sekedar beribadah, namun madrasah untuk menuntut ilmu.

Fatimah kemudian mewujudkan impiannya tersebut dengan membeli sebidang tanah yang luas, kemudian ia mendirikan masjid sekaligus madrasah untuk kaum muslim belajar dan beribadah.

Selama proses pembangunan tempat ibadah dan madrasah, Fatimah bernazar untuk berpuasa hingga proses pembangunannya selesai. Ia berharap berkah akan menyertai tempat yang sedang dibangun tersebut.

Fes, kota tempat Madrasah Al-Qarawiyyin dibangun merupakan kota kedua terbesar di Maroko. Kota ini dianggap “Mekkah dari Barat” dan "Athena dari Afrika" karena banyaknya situs bersejarah yang ada di sana. Karena itulah, UNESCO mencatat kota Fes sebagai salah satu situs pusaka dunia.

Universitas Al-Qarawiyyin, Kampus Tertua di Dunia yang Didirikan Fatimah

Universitas Al-Qarawiyyin adalah kampus tertua kedua di dunia, yang menjadi lembaga pendidikan pertama dengan sistem pendidikan yang menggabungkan elemen kebudayaan, agama, sains, dan pengetahuan umum.

Universitas ini tidak hanya menerima mahasiswa dari kalangan muslim, melainkan juga dari berbagai agama dan keyakinan. Paus Silvester II (946-1003) disebut pernah belajar di Al-Qarawiyyin semasa mudanya, demikian menurut Dr Corisande Fenwick, profesor yang fokus pada sejarah Mediterania dan abad pertengahan.

Paus Silvester II menyukai ilmu bahasa Arab, serta mengembangkan minat di bidang matematika dan ilmu astronomi.

Tokoh Barat lain yang pernah belajar di universitas Al-Qarawiyyin adalah Nicolas Cleynaerts (1495-1542). Cleynaerts merupakan seorang Yahudi yang belajar bahasa Arab untuk memahami Al-Quran selama 15 bulan.

Selain itu, ada pula Jacobus Golius (1596-1667), seorang orientalis dari Universitas Leiden yang juga mempelajari bahasa Arab dan matematika. Golius ternyata pernah menjadi guru matematika dari filsuf ternama, Rene Descartes (1596-1650).

Masih banyak tokoh-tokoh lain yang pernah belajar di universitas tersebut. Di kalangan muslim, tercatat nama matematikawan Abu Al-Abbas Az-Zawawi dan Ibnu Khaldun.

Keberadaan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko menjadi inspirasi dan pendorong pendirian beberapa universitas tertua dunia lainnya, seperti Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Harvard di Amerika Serikat, Universitas Oxford di Inggris, Universitas Cambridge, Universitas Bologna di Italy, hingga Universitas Paris di Prancis pada abad ke-12 M.

Salah satu keunggulan Universitas Al-Qarawiyyin adalah manuskrip sejarahnya. Jumlah koleksi buku di perpustakaan universitas tersebut tercatat lebih dari 4.000 buku langka yang bisa terlacak hingga tahun terbit pada abad ke-9.

Di antara manuskrip langka yang tersimpan di Universitas Al-Qarawiyyin adalah Al-Muwatta, kitab rujukan utama mazhab Maliki yang ditulis sendiri oleh Imam Malik pada permukaan kulit gazel (hewan sejenis antelop kecil).

Ada juga manuskrip Al-Quran dari tahun 1602 pemberian Sultan Ahmad Al-Mansur Al-Dhahabi, sampai dengan salinan asli kitab Ibnu Khaldun, Kitab Al-'Ibar yang disebut sebagai koleksi berharga di perpustakaan universitas tertua teersebut.

Share:

Kemuliaanya Asiyah Istri Fir'aun

 


Asiyah adalah istri Firaun yang disebutkan di dalam Al Quran sebagai salah satu wanita mulia yang telah dijamin surga oleh Allah.
Asiyah memiliki sejumlah kemuliaan. Disebutkan dalam Al-Qur'an, Allah SWT menjadikan Asiyah binti Muzahim perumpamaan bagi orang-orang beriman. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah At-Tahrim ayat 11.

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱمْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ٱبْنِ لِى عِندَكَ بَيْتًا فِى ٱلْجَنَّةِ
وَنَجِّنِى مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِى مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya: Dan Allah menjadikan istri Fir'aun (Asiyah) sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim".

Kemurahan hati Asiyah istri Firaun juga disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al-Qashash ayat 9.

وَقَالَتِ ٱمْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّى وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰٓ أَن يَنفَعَنَآ أَوْ نَتَّخِذَهُۥ وَلَدًا وَهُمْ لَا
يَشْعُرُونَ

Artinya: Dan berkatalah istri Fir'aun, '(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak', sedang mereka tiada menyadari.

Suatu ketika ia membujuk Fira'un untuk tidak membunuh Nabi Musa AS dan mengangkatnya menjadi anak. Fir'aun pun menuruti permintaan Asiyah.


Rasulullah Muhammad SAW menyanjung Asiyah
Tidak hanya Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW memuji budi luhur dan iman yang dimiliki Asiyah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menyebut bahwa kemuliaan Istri Fir'aun sejajar dengan Siti Khadijah dan Fatimah. Siti Khadijah adalah istri Nabi Muhammad SAW. Ada pun Fatimah adalah putri Rasulullah SAW.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa baginda Nabi membuat empat buah garis di atas tanah, kemudian menanyakan maksud keempat garis tersebut kepada sahabatnya. Para sahabat tidak mengetahui maksud garis-garis tersebut.

Kemudian Rasulullah bersabda, "Wanita penduduk surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Asiyah bint Muzahim; istri Fir'aun, dan Maryam bint Imran, semoga Allah meridhai mereka semuanya." (HR. Ahmad)

Rasulullah juga menyebut perumpamaan dari keutamaan Asiyah istri Fir'aun atas kaum perempuan muslim lainnya. Abu Musa berkata bahwa Rasullah SAW penah bersabda, "Orang yang sempurna kemuliaannya dari kalangan laki-laki banyak, namun wanita yang sempuna kemuliaannya hanyalah Asiyah istri Firaun, dan Maryam binti Imran. Dan sungguh keutamaan Aisyah atas semua wanita adalah seperti keutamaan tsarid (jenis roti terbaik) atas segala makanan". (Muttafaq alaih)


Asiyah binti Muzahim merupakan istri raja Fir'aun. Meski sang suami merupakan seorang yang terkenal sangat jahat dan kejam, Asiyah adalah sosok yang sabar, sopan, santun juga penuh kemuliaan. Ia adalah seorang wanita dengan budi pekerti luhur, penyayang dan penuh keteguhan untuk senantiasa berada di jalan yang benar.

Tak hanya cantik budi pekertinya, Asiyah juga merupakan seorang wanita yang begitu cantik parasnya. Kecantikannya inilah yang membuat raja Fir'aun bertekuk lutut padanya. Fir'aun begitu menyayangi Asiyah dan menuruti apa yang diinginkan wanita mulia tersebut termasuk menuruti kemauan Asiyah mengangkat Musa AS sebagai puteranya.

Awal Pernikahan Buat Asiyah Bahagia, Tapi Selanjutnya...
Seperti pengantin baru pada umumnya, awal pernikahan menjadi saat-saat yang membahagiakan. Apalagi, saat itu Asiyah menjadi istri dari seorang raja besar di zamannya. Sayang, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Fir'aun mengaku bahwa selain sebagai raja, ia juga merupakan Tuhan dan meminta semua rakyatnya menyembahnya.


Apa yang dikatakan Fir'aun tentu saja membuat Asiyah berat hati. Ia juga dipaksa menyembah suaminya sendiri dan mengakui bahwa sang suami adalah Tuhan. Dengan penuh kesabaran, Asiyah menuruti permintaan suami walau di dalam hatinya ia sangat keberatan, tersiksa dan berontak.

Dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun, Asiyah terus bersabar menghadapi sifat buruk sang suami. Suatu ketika ia bahkan rela berkorban nyawa menghadapi perlakuan sang suami.

Keteguhan Keimanan Asiyah
Asiyah adalah wanita mulia yang memiliki keteguhan hati kuat untuk selalu beriman kepada Allah SWT. Meski sang suami menyiksanya dengan siksaan berat, ia tak pernah mau mengingkari keteguhan hatinya. Asiyah selalu mengamalkan apa yang diajarkan Musa AS dengan baik. Ia juga hanya menyembah Allah SWT.

Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Fir’aun mengikat istrinya dengan besi sebanyak 4 ikatan, pada kedua tangan dan kedua kakinya. Jika ia telah meninggalkan Asiyah terbelenggu maka para Malikat menaunginya," (HR. Abu Ya’la).

Saat Fir'aun mengganjarnya dengan siksaan yang bertubi-tubi atas keimanannya, Asiyah berdoa, "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 11).

Atas keteguhan keimanannya, Asiyah pun menjadi salah satu wanita mulia yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT. Ia telah menjadi seorang wanita dengan kedudukan sangat mulia. Ia juga merupakan seorang wanita kuat lagi tegas menentang kezhaliman Fir'aun.

Share:

Keberanian Ummu Ammarah

Ummu Ammarah merupakan seorang shahabiyah yang sewaktu Perang Uhud menjadi perisai Rasulullah SAW.

Shahabiyah ini bernama lengkap Nusaibah binti Ka'ab al-Anshari. Sosok yang lebih dikenal dengan nama Ummu Ammarah ini bukan wanita biasa. Ia termasuk seorang pemuka Suku Khazraj, salah satu kabilah terkemuka di Madinah al-Munawwarah, bahkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW.

Ummu Ammarah mulai mengenal ajaran Islam sebelum Rasulullah SAW berpindah ke kota tempat tinggalnya. Ia amat terkesan dengan dakwah agama tauhid. Bersama dengan suami dan anaknya, wanita ini sempat mendengarkan pembacaan ayat-ayat Alquran, termasuk surah Yunus ayat 1-2.

''Alif laam raa, inilah ayat-ayat Alquran yang mengandung hikmah. Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka, 'Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka.' Orang-orang kafir berkata, 'Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata.'''

Kalamullah ini terdengar bagaikan oasis bagi keluarga ini. Bagi Ummu Ammarah pribadi, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Alquran berasal dari Allah Yang Mahapencipta. Dan, bahwa Muhammad SAW adalah utusan-Nya.

Dalam benaknya, ia merasa heran, mengapa para penguasa Makkah merasa terganggu dengan dakwah Nabi SAW. Ummu Ammarah membayangkan, kiranya Rasulullah SAW berasal dari Yastrib (nama awal Madinah), tentunya beliau akan diterima dengan baik.


Tidak menunggu waktu lama, Ummu Ammarah ikut dalam rombongan orang-orang Yastrib yang menghadap Nabi SAW. Mereka menyatakan beriman kepada ajaran Rasulullah SAW dan berjanji setia pada perjuangan beliau.

Keinginan untuk bertemu dengan Rasulullah akhirnya datang pada saat musim haji. Sekitar 500 orang kafilah datang dari Madinah menuju ke Makkah. Kemudian, Rasulullah SAW bertemu dengan mereka dan membuat janji untuk melakukan pertemuan di bukit Aqabah.

Di bukit inilah, 70 orang penduduk Madinah, termasuk Ummu Ammarah, melakukan baiat kepada Rasulullah. Baiat itu berbunyi mereka akan saling melindungi dan menyembunyikan semua perjanjian ini dari kaum Quraisy sampai datang pertolongan Allah SWT.

Dengan keimanan dan baiat yang dilakukannya kepada Rasulullah SAW, Ummu Ammarah pun pulang kembali ke Madinah dan mengajak suami serta kedua anaknya, Habib dan Abdullah, untuk memeluk agama Islam. Masa pun berlalu. Dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW sudah dilakukan terang-terangan dan sudah hijrah ke Madinah. Hingga akhirnya turun ayat yang memerintahkan untuk memerangi kaum Quraisy.

Di Perang Uhud, pada awalnya, Ummu Ammarah membantu Muslimin dalam menyediakan air dan obat-obatan. Namun, kemenangan yang sudah di depan mata langsung sirna lantaran sejumlah pasukan Muslim tidak mematuhi perintah Rasulullah SAW.

Posisi Nabi SAW dan para sahabat yang berdiri di dekat beliau pun terdesak. Menyadari hal ini, Ummu Ammarah dengan ditemani suaminya, Ghaziyah bin Amr, dan kedua anaknya langsung melindungi beliau dari serangkaian serangan musuh.

Diriwayatkan dari Ibnu Hisyam dari Ummu Sa'ad, ''Aku menemui Nusaibah dan berkata, 'Wahai bibiku, beri tahu tentang peristiwa di Uhud.'

Dia berkata, 'Kami pergi bersama Rasulullah ke medan Uhud dan aku membawa kantung air. Lalu, kami berperang hingga Muslimin mendapatkan kemenangan. Tapi, tidak beberapa lama kami mendapatkan serangan yang membuat sebagian kami meninggalkan perang dan Rasulullah SAW. Aku terus berperang melindungi Rasulullah dengan pedang dan panah, sampai tidak aku sadari tubuhku sudah terluka.'


Kemudian, Ummu Sa'ad melihat luka di tubuh Ummu Ammarah, yaitu luka yang cukup parah di bagian lehernya.''


Di Perang Uhud, Ummu Ammarah disebut mengalami 11 luka yang cukup parah. Bahkan, pernah dalam satu peperangan, ia sempat tidak sadarkan diri. Perkataan pertama yang keluar dari mulutnya saat sadarkan diri adalah "Di mana Rasulullah? Apa yang dilakukan kaum kafir terhadap dirinya?"

Para sahabat pun menjawab, "Rasulullah selamat dan sebentar lagi akan menemuimu. Apakah kamu tidak sadar, lukamu cukup parah, tapi mengapa kamu masih bertanya soal kondisi Rasulullah, bukan anak-anakmu?"

Ummu Ummarah pun menjawab, "Mereka bukan Nabi Muhammad. Mereka bukan pembawa risalah Islam. Sesungguhnya aku berperang karenanya dan siap mati untuknya (risalah Islam)."

Atas kegigihan ini, Rasulullah pun sempat mendoakan kepada Ummu Ammarah dan keluarganya untuk menjadi pendamping Rasulullah di surga. Pada saat itu, beliau melihat luka yang cukup parah di tubuh sang shahabiyah.

Ia pun meminta kepada Nabi SAW untuk mendoakannya sebagai pendampingnya di surga. Beliau menjawab, ''Ya Allah, jadikan mereka pendampingku di surga." Ummu Ammarah pun berkata, ''Sekarang aku sudah tidak takut lagi dengan musibah-musibah di dunia.'' 

Share:

Ulama Dalam Mencari Ilmu


Ilustrasi kisah ulama mencari ilmu.

Ilmu merupakan anugerah yang Allah SWT berikan kepada umat manusia. Suatu anugerah yang menjadikan diri kita sebagai manusia seutuhnya. Dalam Islam, mencari ilmu bukan lagi sebuah pilihan antara mau atau tidak, namun menjadi keharusan bagi setiap yang beriman. Karenanya kisah ulama dalam menimba ilmu patut dicontoh.


"Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagian darinya sehingga kamu berikan seluruh jiwamu untuknya."

4 Kisah Ulama Bisa Dijadikan Motivasi Serta Teladan
1. Imam Ibnu 'Aqil
Abu Wafa Ali bin Aqil bin Muhammad bin 'Aqil atau yang lebih dikenal Imam Ibnu 'Aqil merupakan ulama besar dalam Madzhab Hambali yang lahir pada 431 H dan wafat di usia 50. Hampir keseluruhan hidupnya digunakan untuk membaca, menulis dan menebarkan cahaya ilmu pengetahuan. Kecintaan ilmu yang Allah berikan kepada Imam Ibnu 'Aqil bahkan sudah tampak saat ia masih kecil. Sejak masih kecil, Imam Ibnu 'Aqil dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun. Ia tidak suka bermain melainkan senang belajar bersama dan berdiskusi dengan teman-temannya. Setelah belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu dasar, Imam Ibnu 'Aqil berguru kepada sejumlah ulama besar pada masanya antara lain Syaikh Abu Bakar bin Bisyran, Syaikh Abu Ali bin Al-Walid dan banyak lagi. Hari-hari Imam Ibnu 'Aqil dihabiskan untuk membaca, berpikir, merenung, meneliti, mengajar dan menulis.


Dalam kitab Dzail ath-Thabaqat al-Hanabilah disebutkan pernyataan Imam Ibnu 'Aqil: 

"Aku tidak membiarkan hari-hariku berlalu secara sia-sia. Manakala aku sedang tidak mengajar atau berdiskusi atau membaca buku, aku manfaatkan pikiranku untuk memikirkan sesuatu. Dan itu aku lakukan sambil merebahkan tubuhku. Manakala aku menemukan suatu pengetahuan yang harus aku tulis maka aku akan bangun." 


Terlalu cintanya beliau akan ilmu, dalam kutipan lain juga diceritakan bahwa Imam Ibnu 'Aqil berusaha semaksimal mungkin menghemat waktunya untuk makan, agar bisa membaca dan memikirkan isi kitab yang ia baca.

Tidak heran di saat wafat Imam Ibnu 'Aqil tidak meninggalkan apa-apa selain kitab-kitab karyanya. Dan salah satu kitab Imam Ibnu 'Aqil yang terkenal berjudul Al-Funun. Kitab yang konon terdiri dari 800 jilid ini menjadi kitab terpanjang di dunia yang menghimpun segala pengetahuan keislaman berupa tafsir, fiqh, ushul fiqh, hadits, ilmu kalam, nahwu, bahasa, sastra, prosa dan puisi, sejarah, nasihat, kisah-kisah dan lain-lain.


2. Syaikh Ibnu Rusd Al-Hafid
Merupakan seorang faqih Madzhab Maliki. Ulama besar yang ahli ushul fiqh, ahli hadits dan penulis beragam bidang ilmu. Syaikh Ibnu Rusd memperoleh ilmu dari ayahnya, sehingga ia hafal kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik di luar kepala. Pada usia 35 tahun Syaikh Ibnu Rusd diangkat menjadi hakim agung, seperti kakeknya yang juga merupakan hakim agung dan mufti besar. Jabatan ini merupakan jabatan paling tinggi yang pernah Syaikh Ibnu Rusd jalani.


Di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai hakim agung, Syaikh Ibnu Rusd masih sempat menekuni bidang keilmuan yang lain di luar fiqh, terutama filsafat. Di manapun berada, ia selalu membaca buku atau menulis. Dikisahkan, sepanjang hidupnya, Syaikh Ibnu Rusd tidak pernah libur belajar kecuali dua hari saja yaitu ketika menikah dan ketika ayahnya meninggal dunia.

3. Imam Abu Hamid Al-Ghazali

Lahir dari keluarga seorang fakir yang shalih. Ayahnya merupakan pengrajin kain wol yang memiliki kecintaan terhadap ilmu dan ulama. Menjelang wafatnya, sang ayah menitipkan kedua anaknya yaitu Imam Abu Hamid dan Imam Ahmad kepada seorang ulama terkemuka di desanya, sambil berpesan "Sungguh aku menyesal dulu tidak rajin belajar. Aku ingin kedua anakku tidak seperti aku".



Share:

Kisah Rabi’ah Vs generasi milenial pecinta rebahan Demi Menuntut Ilmu

 


Bila diberi pilihan untuk menjadi manusia yang berilmu atau tidak, sudah tentu pilihan kita adalah yang pertama. Namun, sudah siapkah kita untuk memperjuangkan ilmu? Beberapa orang pasti pernah berpikir, “Ah, mahal sekali biaya untuk kursus A,” atau “Ingin ikut kelas B, tapi jauh banget,” atau semacamnya. Nah, baiknya dikesampingkan dulu pemikiran yang seperti itu.

Banyak hal di dunia ini yang perlu pengorbanan, termasuk juga ilmu. Berbincang mengenai ilmu, ada seorang ulama Madinah yang dapat kita tilik kisahnya. Namanya adalah Rabi’ah bin Farrukh At-Taimi Al-Madani. Bayi yang lahir dari ibu bernama Suhailah ini tidak dapat melihat sosok ayahnya sendiri di hari kelahirannya. Beberapa bulan sebelum ia lahir, ayahnya ikut berjihad.

Ketika pasukan perang kembali ke Madinah, Suhailah mendatangi pasukan itu, mencari sosok Farrukh, ayah Rabi’ah. Sayangnya, meski sudah bolak-balik di antara pasukan, Suhailah tidak memukannya. Ia mencoba bertanya, tetapi jawaban yang didapat tidak ada yang memuaskan. Hancurlah perasaan Suhailah.

Life goes on. Suhailah membesarkan anaknya sendirian. Rabi’ah tumbuh menjadi anak yang tangkas dan cerdas. Inilah pengorbanan pertama di kisah ini; Suhailah menyerahkan Rabi’ah kecil kepada guru-guru untuk mengasah kecerdasannya. Kecerdasan Rabi’ah berkembang pesat. Mulai dari kemampuan baca tulis, menghafal Alquran, hadis-hadis, bahasa Arab, serta perkara-perkara yang wajib diketahui, semua telah dikuasainya.

Pengorbanan Suhailah untuk pendidikan Rabi’ah tidak hanya itu. Seperti sekarang, pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meski saat itu bisa dibilang bahwa Suhailah adalah janda yang hidup dengan sederhana, tetapi sebenarnya ia memegang uang ghanimah Farrukh. Jumlahnya sekitar 30.000 dinar. Jumlah yang cukup untuk membiayai pendidikan Rabi’ah.

***

Ketika Rabi’ah hampir baligh, orang-orang mengatakan kepada Suhailah untuk menghentikan pendidikannya agar ia bekerja saja. Namun, melihat ketekunan putranya, Suhailah menolak. Rabi’ah merupakan remaja yang bersemangat. Ia gunakan waktunya untuk mendatangi halaqah di Masjid Nabawi, memenuhi rasa haus ilmu tanpa rasa malas. Ia juga menjadi murid dari para tabi’in terkemuka seperti Said bin Musayyab, Makhul Asy-syami, dan Salamah bin Dinar.

Rabi’ah memiliki kebiasaan belajar hingga larut malam. Ia selalu bersikeras sambil berkata, “Aku telah mendengar dari guru-guruku: Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dari dirinya kepadamu, kecuali jika kamu memberikan seluruh jiwamu untuk mendapatkannya.”

Salah satu kisah paling menarik dan tak terduga dari perjalanan hidup Rabi’ah terjadi di suatu malam pada musim panas. Ketika itu, Rabi’ah yang sedang berada di kamarnya, medengar pintu dibuka. Dilihatnya seseorang memasuki rumah membawa pedang dan tombak.

Rabi’ah menyerang orang tersebut. Keduanya langsung terlibat perkelahian. Para tetangga pun mendatangi mereka, hendak mengeroyok orang asing itu demi membela Rabi’ah. Terpojok, orang asing itu berkata, “Aku bukan musuh Allah ataupun penjahat, ini rumahku, milikku,” lalu ia melanjutkan, “Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah orang yang mengenaliku?”

Bersamaan dengan itu, Suhailah datang. Dilihatnya sang suami yang bertarung dengan anaknya. Suhailah yang berhasil menilai situasi segera melerai mereka dan mengatakan bahwa Farrukh adalah ayah Rabi’ah.

Mendengarnya, Farrukh lantas memeluk dan mencium anaknya, demikian pula Rabi’ah yang lantas mencium tangan ayahnya. Kerumunan membubarkan diri. Suhailah segera menyambut suaminya dengan bahagia. Ibarat novel, kembalinya Farrukh ini seperti plot twist.

Hanya Mengharapkan Allah Swt

Keesokan harinya, Suhailah teringat uang titipan Farrukh. Ia takut Farrukh tidak percaya jika uang sebanyak itu telah habis untuk pendidikan Rabi’ah. Seperti bisa membaca pikiran, Farrukh berkata, “Aku membawa uang 4.000 dinar, ambillah sisa uang yang kutitipkan dan kita gabungkan untuk beli kebun atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewa selama sisa usia kita.”

Suhailah diam, Farrukh mengulanginya. Namun, pembicaraan mereka terputus oleh adzan. Farrukh bergegas mengambil wudhu dan mencari Rabi’ah.

“Ia sudah berangkat ke masjid lebih dulu. Saya rasa Anda akan terlambat,” kata istrinya.

Benar, Farrukh terlambat. Imam sudah menyelesaikan sholat. Akhirnya Farrukh sholat sendiri. Setelah itu, ia menuju makam Rasulullah SAW untuk bershalawat. Ia juga melaksanakan shalat sunah di Raudhah Muthahharah.

Ketika selesai, ia melihat masjid penuh. Orang-orang melingkari syekh hingga tidak ada lagi tempat untuk berjalan. Farrukh berusaha melihat wajah syekh tersebut, tetapi tertutup jamaah. Ia sangat kagum mendengar ucapan syekh, ilmunya yang luas dan ingatannya yang tajam, serta antusiasme para jamaah yang mendengarkan. Ketika majelis ilmu tersebut bubar, Farrukh bertanya kepada orang di sebelahnya mengenai siapa syekh tersebut sebenarnya.

“Apakah Anda bukan penduduk Madinah?” tanya orang itu.

Farrukh menjelaskan kalau ia baru kembali ke Madinah. Orang itu lantas menjawab, “Syekh tadi adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih muda.”

Semakin kagumlah Farrukh. Orang tadi melanjutkan, “Dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya di Madinah. Dia hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah SWT. Namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi.”

Farrukh terkejut, “Rabi’ah ar-Ra’yi? Bagaimana nasabnya?”

Ilmu dan Pengorbanan

“Nama aslinya Ar-Rabi’ah, tetapi para ulama dan pemuka Madinah biasa memanggilnya Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesuelitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam Kitabullah dan hadis, mereka selalu bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah itu, menyebutkan qias apabila tidak ada nash sama sekali, serta menyimpulkan hukum bagi mereka yang memerlukannya secara bijak dan menenteramkan hati. Dia adalah Ar-Rabi’ah putra Farrukh yang memiliki julukan Abu Abdirrahman. Dilahirkan tak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinah sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunyalah yang memelihara dan mendidiknya. Tapi tadi saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah kembali kemarin.”

Farrukh meneteskan air mata. Rabi’ah, anaknya, telah menjadi ulama besar. Ia bergegas pulang. Suhailah yang keheranan melihat Farrukh menangis pun berkata, “Ada apa wahai Abu Abdirrahman?”

Mendengar penjelasan Farrukh, Suhailah menggunakannya untuk menjelaskan perihal harta peninggalan yang ditanyakan Farrukh sebelumnya. “Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya,” kata Farrukh setelah mendengar penjelasan Suhailah.

Suhailah juga menanyakan keridhaan Farrukh, tetapi Farrukh berkata, “Ya, semoga Allah membalas jasamu atasku, anak kita, dan juga kaum muslimin dengan balasan yang baik.”

Itulah kisah Rabi’ah Ar-Ra’yi, ulama yang hidupnya penuh dengan pengorbanan demi ilmu. Namun, begitu banyak hal manis yang akhirnya membalas pengorbanan-pengorbanan tersebut. Rabiah wafat pada tahun 136 H di daerah Al-Hasyimiyah, negara bagian Al-Anbar, Irak. Dari kisah Rabi’ah, kita bisa tahu bahwa ilmu memerlukan banyak pengorbanan. 

Share:

Imam Syafi'i Dilarang Pulang Oleh Ibunya?

 


Ketika berguru di kota Mekah Imam Syafi’i di perintahkan oleh gurunya, "wahai Muhammad pergilah engkau ke Madinah untuk berguru lagi, karena sesungguhnya ilmuku sudah habis, semuanya sudah kuajarkan padamu". Imam syafi’i pun menuruti perintah sang guru dan beliau segera berpamitan dengan sang ibu. Berkatalah sang Ibu, "pergilah engkau menuntut ilmu di jalan Allah, kita akan bertemu nanti di akhirat." Maka Imam Syafi'i Pun berangkat ke Madinah mencari guru untuk mengajarkannya ilmu.

Di Madinah beliau berguru kepada Imam Malik. Tak butuh waktu lama, Imam Syafi'i langsung menyerap ilmu yang diajarkan Imam Malik sehingga semua orang terkagum-kagum dibuatnya. Termasuk sang guru yang pada saat itu merupakan ulama tertinggi di Madinah, Imam Syafi'i Pun menjadi murid kesayangan Imam Malik.

Imam Syafii kemudian mengembara ke Iraq dan menimba ilmu di sana, beliau berguru kepada murid-muridnya Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Meski sudah banyak menyerap ilmu di Irak, imam Syafi'i belum ingin pulang karena belum ada panggilan dari ibundanya. Di Irak Imam Syafi'i berkembang menjadi murid yang terkenal sangat pintar dan tercerdas. Sehingga dalam waktu singkat ia sudah diminta untuk mengajar. Tak butuh waktu lama, ribuan murid pun berbondong-bondong datang untuk berguru padanya. Hingga ia pun menjadi ulama besar yang terkenal ke seluruh penjuru Irak hingga Hijaz.

Ibundanya imam syafi’i pada setiap tahunnya juga melakukan ibadah haji, pada kesempatan tahun itupun sang ibu melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu sang ibu mengikuti kajian dari salah seorang ulama yang mana sang ulama tersebut sering mengucapkan nama imam Syafi'i. Mendengar ulama tersebut sering mengucapkan nama sang anak, setelah pengajian sang ibu pun menjumpai ulama tersebut. Sang ibu bertanya kepada sang ulama Wahai syekh siapakah itu Muhammad bin Idris Asy Syafi’i? sang ulama pun menjawab bahwa imam syafi’i adalah gurunya di irak.

Kemudian sang ibu dengan penasaran menanyakan lagi kepada sang ulama bahwa Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang manakah yang maksud? ulama tersebut pun menjawab bahwa ia merupakan ulama besar yang berasal dari kota mekah. Sang Ibu pun Terkejut  mengetahui bahwa guru ulama tersebut merupakan anaknya. Kemudian sang ulama menyampaikan kepada ibunya imam syafi’i bahwa ia ingin berpesan apa kepada sang anak? Sang ibu pun menjawab bahwa ia telah memperbolehkan sang anak untuk pulang ke rumahnya.


Sesampainya sang ulama tersebut di Irak ia langsung menyampaikan pesan tersebut kepada sang guru. Imam syafi'i yang mendengar kabar tersebut langsung bergegas untuk pulang ke mekah. Mendengar kabar sang imam ingin pulang penduduk irak sangat sedih, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika sang imam ingin pulang, masyarakat serta sang murid pun telah menyiapkan bekal kepada sang imam. Karena sang imam telah menjadi ulama besar di irak ia pun menerima bekal yang sangat banyak, ratusan ekor unta telah diterimanya dari masyarakat dan muridnya disana.

Sesampainya sang imam di pinggir kota mekah, ia pun memerintahkan sang murid untuk me memberitahukan sang ibu bahwa anaknya telah berada di pinggir kota mekah. Sang ibu bertanya apakah yang ia bawa? sang murid pun menjawab dengan bangga bahwa sang imam membawa ratusan ekor unta dan harta lainnya. Mendengar itu sang ibu pun sangat marah dan ia tidak memperbolehkan sang anak untuk pulang.

Dengan rasa bersalahnya sang murid kembali menjumpai sang guru dan menyampaikan bahwa sang ibu marah dan tidak memperbolehkannya pulang. Mendengar berita itu sang imam sangat ketakutan dan menyuruh sang murid untuk mengumpulkan seluruh orang-orang miskin di kota mekah, kemudian ia memberikan seluruh harta yang ia bawa hingga yang tersisa hanya kitab-kitab dan ilmunya. Kemudian sang imam memerintahkan sang murid untuk memberitahu sang ibu tentang hal ini, setelah mendengar kabar tersebut sang ibu pun memperbolehkan sang imam untuk pulang. 

Share: