Puasa
memiliki
keutamaan yang besar. Bulan Ramadhan pun demikian adalah bulan yang penuh
kemuliaan. Untuk memasuki bulan yang mulia ini, tentu kita harus punya
persiapan yang matang. Bekal utama yang mesti
ada adalah bekal ilmu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Orang
yang beramal tanpa ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah
dimaklumi bahwa orang yang berjalan tanpa penuntun akan mendapatkan kesulitan
dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut
orang yang berakal, ia tetap saja tidak dipuji bahkan dapat celaan.”
Guru dari Ibnul Qayyim yaitu Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
“Siapa
yang terpisah dari penuntun jalannya, maka tentu ia akan tersesat. Tidak ada
penuntun yang terbaik bagi kita selain dengan mengikuti ajaran Rasul
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
“Orang
yang beramal tanpa ilmu seperti orang yang berjalan bukan pada jalan yang
sebenarnya. Orang yang beramal tanpa ilmu hanya membuat banyak kerusakan
dibanding mendatangkan kebaikan. Tuntutlah ilmu dengan sungguh-sungguh, namun
jangan sampai meninggalkan ibadah. Gemarlah pula beribadah, namun jangan sampai
meninggalkan ilmu. Karena ada segolongan orang yang rajin ibadah, namun
meninggalkan belajar.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz juga pernah berkata,
“Siapa
yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat
lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.
Amalan yang bisa diterima hanyalah dari orang yang bertakwa. Sifat takwa hanya bisa diraih dengan belajar agama. Allah Ta’ala berfirman,
«Sesungguhnya
Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.» (QS. Al Maidah: 27).
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Tafsiran yang paling bagus mengenai ayat
ini bahwasanya amalan yang diterima hanyalah dari orang yang bertakwa. Yang
disebut bertakwa adalah bila beramal karena mengharap wajah Allah dan sesuai
dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja ini hanya
didasari dengan ilmu.”
Ulama hadits terkemuka, yakni Imam Bukhari membuat bab dalam kitab shahihnya “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah Ta’ala,
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’, bahwa Sufyan membaca ayat (yang artinya), “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan,
“Tidakkah
engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’,
kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?”
Ibnul Munir rahimahullah menjelaskan maksud Imam Bukhari di atas,
“Yang
dimaksudkan oleh Imam Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan
dan perbuatan. Suatu perkataan dan
perbuatan
itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah,
ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan. Ingatlah bahwa ilmu itu pelurus
niat dan yang akan memperbaiki amalan.”
Mu’adz bin Jabal berkata,
“Ilmu
adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang ilmu.”
Ibnu
Taimiyah berkata, “Niat dan amalan jika tidak didasari dengan ilmu, maka yang
ada hanyalah kebodohan dan kesesatan, serta memperturut hawa nafsu. Itulah beda
antara orang Jahiliyah dan seorang muslim.”
Mengapa kita
mesti belajar sebelum beramal?
Karena menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Ilmu apa saja
yang mesti disiapkan sebelum Ramadhan menghampiri kita?
Yang utama
adalah ilmu yang bisa membuat puasa kita sah, yang bila tidak dipahami bisa jadi
ada kewajiban yang kita tinggalkan atau larangan yang kita terjang. Lalu
dilengkapi dengan ilmu yang membuat puasa kita semakin sempurna. Juga bisa
ditambahkan dengan ilmu mengenai amalan-amalan utama di bulan Ramadhan, ilmu
tentang zakat, juga mengenai aktifitas sebagian kaum muslimin menjelang dan
saat Idul Fithri, begitu pula setelahnya.
Prinsip dalam Beragama
Dalam
beragama kita diperintahkan mengikuti dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kita
dilarang hanya sekedar taklik atau fanatik buta, tanpa menjadikan dalil sebagai
panutan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).
Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
“Berpegang
teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan
petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi
geraham kalian.”
Imam Malik berkata,
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa
keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan
As Sunnah, ambillah. Sedangkan jika tidak mencocoki keduanya, maka tinggalkanlah.”
Imam Ahmad berkata,
“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang
kebinasaan.”
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi
mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”
Imam Syafi’i juga berkata,
“Kaum
muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah
(ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk
meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”
Namun tidak selamanya taklid tercela. Bagi kalangan awam yang tidak bisa memahami dalil, maka ia bisa bertanya pada ulama dan menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan. Allah Ta’ala memerintahkan,
“Tanyakanlah olehmu
kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui” (QS. Al Anbiya’: 7).
Prinsip penting lainnya adalah kita mesti beramal dengan memakai tuntunan. Namanya ibadah tidak boleh direka-reka, harus ada dalil yang jadi pegangan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.”
Dalam riwayat lain juga dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hati-hatilah
dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Disebut bid’ah yang tercela bila memenuhi tiga syarat: (1) sesuatu yang baru (dibuat-buat), (2) sesuatu yang baru dalam agama, (3) tidak disandarkan pada dalil syar’i. Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.”
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Setiap
bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah berbuat bid’ah. Karena
(sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”