for learn successfull and Healthy Live

Persib selangkah menuju Juara

Kemenangan penting dipetik Persib Bandung atas Madura United di leg I final Championship Series Liga 1 2023-2024, pada Minggu (26/5/2024) malam WIB.

Anime

Dragonball Ultra instinct Goku vs Jiren

Juknis Dana BOS 2024 PDF dan Cek Pencairannya

Cara cek penyaluran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tahap 1 tahun 2024 bisa dilakukan via laman Kemdikbud. Sedangkan juknis dana BOS tercantum dalam Permendikbud Nomor 63 tahun 2023.

8 Manfaat Biji Pepaya untuk Kesehatan dan Cara Konsumsinya

Manfaat Biji Pepaya Ada beberapa manfaat dari mengkonsumsi biji pepaya untuk kesehatan tubuh, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Menurunkan Risiko Penyakit Kanker

Resep Kue Tradisional

Langkah pembuatan kue cucur: 1. Masak air dengan gula pasir dan gula merah sambil diaduk rata, lalu dinginkan. 2. Campur tepung terigu, tepung beras, dan bubuk kayu manis.

Jumat, 02 Agustus 2024

Pentingnya Akhlak di Masa Digital



Dalam kitab suci Al-Qur’an banyak sekali ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak. Entah perintah untuk melaksanakan sesuatu yang baik ataupun larangan untuk menjauhi sesuatu yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa sangat pentingnya akhlak dalam ajaran islam.

Menurut al-Ghazali, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan macam-macam perbuatan antara baik atau buruk, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan jangka panjang; sehingga dengan mudahnya seseorang melakukan sesuatu.

----

Akhlak bukanlah suatu perbuatan atau kekuatan, melainkan suatu keadaan jiwa yang berbentuk bathiniah. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak merupakan keadaan jiwa yang membawa dampak bagi seseorang untuk bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Akhlak tidak bersifat logis ataupun dorongan nafsu.

Secara umum, akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak yang baik (mahmudah) dan akhlak yang buruk (mazmumah). Akhlak mahmudah adalah segala perbuatan atau tindakan yang terpuji dan mempunyai kelebihan (fadlilah). Sedangkan, akhlak mazmumah ialah segala perbuatan atau tindakan yang tidak terpuji (tercela).

Akhlak yang baik tidak sekadar diberikan kepada sesama manusia saja, tetapi kepada seluruh sesama makhluk Allah Swt. yang diciptakan di alam semesta ini. Akhlak yang buruk dapat menciptakan dampak negatif dan berakibat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Al-Ghazali berpendapat bahwa karakteristik akhlak dibagi menjadi 4, yaitu kekuatan ilmu (hikmah), kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan (keadilan). Dari keempat kriteria menjadi persyaratan wajib untuk menggapai tingkatan akhlak yang baik secara keseluruhan.

----

Pendapat aliran nativisme terkait faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku akhlak yaitu faktor yang telah dibawa manusia sejak lahir. Seperti, kecenderungan dari dalam diri seseorang. Ibarat jika seseorang memiliki kebiasaan yang baik, maka dengan otomatis seseorang tersebut menjadi baik.

Pendapat aliran empiris bahwa faktor yang paling mempengaruhi perilaku akhlak adalah faktor dari luar. Seperti cara orang tua yang mendidik anaknya, jikalau anak tersebut mendapatkan didikan yang baik, maka anak tersebut jadilah baik atau malah sebaliknya.

Adapun faktor dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berasal dari luar dirinya dan sangat besar dampaknya terhadap perbuatan seseorang. Seperti lingkungan pergaulan yang dapat mempengaruhi tindakan seseorang baik di dalam rumah tangga, sekolah, masyarakat.

Menurut al-Ghazali, ada dua metode yang dapat dilakukan seseorang agar berakhlak baik. Yang pertama, membiasakan diri melaksanakan amal shaleh dengan penuh keikhlasan. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang agar menjadi kebiasaan yang baik.

Sedangkan, cara menempuhnya yaitu dengan meminta karunia Allah Swt., agar segala nafsu maupun amarah dapat dikendalikan ke jalan yang benar. Selanjutnya, dengan menempatkan diri kepada perilaku-perilaku yang dikehendaki oleh akhlak tersebut.

Sebagaimana contoh dari perbuatan akhlak yang baik kepada Allah Swt. yaitu berserah diri kepada Allah Swt., selalu bersifat tawaduk kepada Allah Swt., tidak lupa mengharapkan rida dari Allah Swt. dan senantiasa melaksanakan perintah Allah Swt. serta menjauhi larangannya.

----

Contoh berakhlak yang baik terhadap sesama manusia yaitu selalu menghormati dan menghargai kedua orang tua, berbuat baik kepada sesama teman, selalu berprasangka baik dan rendah hati. Selain itu, ada pula akhlak yang baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah Swt. yaitu selalu menyayangi dan melindungi terhadap binatang maupun tumbuhan.

Menurut pendapat M. Ali Hasan, tujuan inti dari adanya seseorang yang berakhlak ialah agar seseorang dapat berbudi pekerti dan bertingkah laku yang baik serta beradat istiadat dari satu generasi ke generasi lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Akhlak yang agung akan selalu terlihat perihal pengabdiannya terhadap Allah Swt., terhadap lingkungan sekitar baik antar sesama manusia maupun sesama makhluk ciptaan Allah Swt. Akhlak yang agung dapat memberikan kita kebaikan serta kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.

Rasulullah bersabda yang artinya, “Orang-orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah dirinya yang memiliki akhlak baik (mahmudah). Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya kepada pasangannya.” (HR. Tirmidzi)

Dengan berakhlak mulia, kita dapat menikmati ketenangan dalam hidup, dapat lebih dihormati dan dihargai seseorang, menjadikan kita selalu optimis dan berpikir positif. Tak lupa selalu dalam lindungan Allah Swt. dan terhindar dari hal-hal yang negatif.

Oleh karena itu, jadilah seseorang yang berakhlak mulia maupun terpuji, karena dengan mempunyai akhlak yang baik (mahmudah) dapat memberikan keistimewaan serta keberkahan dalam hidup dan selalu menjerumuskan kepada hal-hal yang positif.


Share:

Sabar di Zaman Digital

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa modernitas lebih identik dengan pola informasi cepat. Hal itu selama berjalan dalam koridor norma-norma kebaikan dan agama kemudian masih dalam bingkai kebenaran dan aturan hukum. Kita sepakat bahwa hal tersebut sangat berguna dan dalam satu sisi membantu dalam mentransformasikan nilai-nilai keluhuran.

Di sisi lain arus informasi itu tidak selamanya sejalan dengan etika ke-Indonesia-an dan berseberangan dengan ajaran agama. Maka ketika hal tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran agama atau norma-norma kesusilaan maka kita harus mengambil sikap hati-hati dan selektif. Jangan mudah menyebarkannya tanpa meneliti dan menelaahnya lebih jauh dan mendalam. Oleh karena itu, di sinilah sabar mempunyai peran krusial dan urgen yang harus muncul dan menjelma menjadi rem dan filter sekaligus menjadi anti virus.


Sabar sering disandingkan dengan kata tabah. Kata sederhana yang ringan diucapkan dan mudah disampaikan. Sabar merupakan kunci untuk membuka kemelut permasalahan; menjadi alat yang menghubungkan keretakan personal maupun kompleksitas problem masyarakat. Berasal dari bahasa arab yang sering diartikan sebagai menahan diri atas ketidakenakan atau menahan diri dalam posisi kurang atau tidak nyaman.

Sabar menjadi penanda bagi ketercapaiannya cita-cita atau harapan. Segala sesuatu yang kita kerjakan harus selalu diliputi dengan sabar. Sabar harus selalu ada di awal, tengah dan akhir pekerjaan kita. Ia adalah bagian terpenting bagi kesuksesan dan keteraturan hidup dan kehidupan yang kita jalani. Dalam satu hadis dijelaskan bahwa sabar itu terlihat sebagai karakter seseorang pada saat hentakan pertama/ awal mula cobaan itu datang ( al shadamatu al ula). 

Bisa kita bayangkan tanpa karakter sabar yang harus selalu kita latih, perilaku semena-mena dan semaunya akan sering kita jumpai. Dan semena-mena atau semaunya cenderung mengarah kepada merusak dari pada membangun. Memang hal itu sudah dijelaskan Allah bahwa karakter dasar manusia adalah tergesa-gesa (QS; 17:11). Dan oleh karena itu dalam banyak ayat dalam Al Qur’an sering dijelaskan tentang pentingnya sabar dalam segala kondisi dan situasi.

Sabar harus menghentikan aktifitas kita sejenak untuk lebih memberikan ruang pada akal pikiran untuk mencerna hal tersebut secara cepat dan akurat; tentunya memperbanyak literasi sebagai pengkayaan terhadap cakrawala pengetahuan.

Fenomena “share” dengan hanya mengacu pada judul tanpa melihat dan mencermati konten yang ada dalam suatu berita menjadi lumrah. Hal ini menghilangkan akal berpikir kita untuk sejenak tidak menjadi manusia yang seutuhnya (manusia adalah hewan yang berpikir). Bukankah segala sesuatu pasti mempunyai sisi baik dan buruk?. Mempunyai sisi positif dan sisi negatif, baik dualitas tersebut berkaitan dengan kontennya atau dengan suasanan dan kondisi yang melingkupi berita tersebut.

Dalam ayat terakhir Surat Ali imron ayat 200, sangat jelas bahwa sebagi seorang beriman kita mendapat perintah untuk melakukan tiga hal supaya kita beruntung dalam segala hal. Pertama; bersabar terhadap diri kita sendiri (al sabru ala nafsihi). Termasuk menahan ketergesa-gesaan dalam menjalankan ibadah sholat dan sikap semaunya dalam mengambil keputusan dan dalam menilai sesuatu yang belum jelas kevalidannya. Maka urgennya tabayyun terhadap sesuatu yang masih abu menjadi sebuah keniscayaan seperti dalam QS: 49 : 6, dan hal tersebut bukan menghilangkan kerja cepat tapi itu sebuah kecermatan.

Kedua; sabar terhadap lingkungan luar termasuk sabar terhadap orang lain (mushabaroh atau al sabru ala ghairihi). Sebagai pengingat bahwa sabar memang sarat yang harus ada dalam hubungan antara sesama. Bagaimana kita bersabar terhadap sikap dan ucap yang tidak sesuai dengan cara pandang kita. Hal itu sebagai upaya untuk mengikis ego manusia yang sejak lahir memang selalu tumbuh dan berkembang.


Dan ketiga; harus menjalin hubungan (murobathoh) dengan kesemuanya, baik dengan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan atau alam. Dan yang ketiga ini bisa dikatakan sebagai kilas balik terhadap sikap kita terhadap diri kita, orang lain maupun lingkungan luar. Kemudian terwujudnya ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk keberuntungan kita baik di dunia misalnya terciptanya sebuah keharmonisan, ketentraman dan terjalin sebuah ikatan persaudaraan dan yang tak kalah penting adalah keberuntungan kita di akhirat. Bukankah sa’adatu al-daaraini (bejo dunyo akhirat) merupakan impian setiap manusia?

Share:

Ibadah Tapi Masih Maksiat, Begini Kata Ustaz AH


Bukankah semakin rajin ibadah seharusnya semakin menjauh dari maksiat? Tentu kita sering mendengar istilah-istilah seperti “rajin shalat kok marah, rajin ngaji kok zhalim, rajin ibadah kok maksiat” tentu yang salah bukanlah ibadahnya tetapi si pelaku ibadah. Begini penjelasan Ustadz Adi Hidayat.

Allah SWT berfirman dalam satu Hadits Qudsi ”Sesungguhnya Aku (Allah) hanya akan menerima shalat dari hamba yang dengan shalatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong kepada  makhluk-Ku yang lain, tidak mengulangi maksiat kepada-Ku, menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan muliakan shalat hamba itu dengan  kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat untuk menjaganya. Dan kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankannya. Perumpamaan dia dengan  makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan Firdaus di surga.”


Antara Ta’at, Maksiat, dan Lagha

Kita mungkin pernah melihat, ada orang salat tapi masih berbuat perkara tidak penting. Ustadz Adi Hidayat dalam tanya jawab MIRA memaparkan antara ta’at dan maksiat. Di antara keduanya Ustadz Adi menyebutkan “lagha” atau hal yang tidak penting. “Lagha” ini belum tentu dosa, tetapi banyak yang tidak menyukainya karena berpotensi mendekatkan pada maksiat dan melupakan ibadah.

Kita ambil contoh, maksiat yang jelas berdosa dari segi aspek penglihatan. Misalnya melihat yang terlarang, pornografi apalagi porno aksi dan hal-hal lain yang Allah benci sudah jelas maksiat. Berbeda jika menonton film, itu tidak ada unsur melihatkan langsung aspek maksiatnya. Sedangkan lagha adalah melalaikan ta’at, membuang waktu sia-sia. Waktu untuk membaca Al-Quran terbuang begitu saja dan waktu untuk mengasah otak jadi berkurang.


Penjelasan Ustadz Adi Hidayat tentang Tingkatan Iman


Dalam Islam, gambaran keimanan itu ditunjukkan dengan perbuatan amal shaleh. Ustadz Adi Hidayat menjelaskan dalam sesi tanya jawab tersebut bahwa tingkatan iman terbagi menjadi tiga. Pertama, iman dasar. Makna “aamana” yaitu iman yang standar. Tanda standar iman ditunjukkan dengan amalan-amalan atau ibadah yang dikerjakan hanya yang sifatnya menggugurkan kewajiban saja. Standarnya iman terlihat ketika mengerjakan salat. Mereka hanya mengerjakan salat wajib saja, belum tergerak mengerjakan salat-salat sunnah. Jadi feedback atau timbal balik dari ibadah yang mereka dapatkan juga standar.

Misalnya fungsi shalat adalah mencegah yang keji dan munkar. Mereka yang hanya mengamalkan ibadah shalat wajibnya saja, secara standar maka yang tercegah juga hanya perbuatan keji dan munkar yang sifatnya standar. Karena itu salat tidak dapat mencegah godaan yang melebihi batas standar. Inilah yang menyebabkan orang yang salat masih melakukan maksiat.

Untuk mencegah godaan-godaan yang berat atau melebihi standar maka seseorang harus menaikkan level keimanannya. Kata “aamana” berubah menjadi mudhari’ dengan “yu’minu” bermakna ketersambungan, konsistensi akan iman, terus berlatih agar menjadi kebiasaan. Iman yang naik level terlihat dari ibadah yang juga naik levelnya. Seperti shalat tidak hanya melaksanakan yang wajib saja tapi juga yang sunnah-sunnah. Hal ini agar benteng kita makin kuat dan bisa memfilter godaan-godaan yang melebihi standar.

Jika sudah berusaha untuk istiqamah menaikkan level ibadah menjadi kebiasaan dan melekat akan hal itu maka levelnya menjadi “mu’min” atau jamaknya “mu’minun”. Dalam tingkat ini bukan lagi soal kuantitas ibadah, tapi juga kualitas ibadah. Dengan ibadah yang berkualitas itu tentu akan meninggalkan hal-hal yang tidak penting. Misalnya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca Al-Qur’an, menulis dan sebagainya.


Rajin ibadah tapi Masih Bermaksiat, Apa Faktornya?

Kenapa rajin ibadah tapi masih bermaksiat? Dari pemaparan Ustadz Adi Hidayat mengenai iman dapat kita pahami bahwa ketika iman kita standar maka godaan-godaan di atas standar tidak bisa kita cegah, dan maksiat akan muncul. Ketika iman meningkat, maka potensi-potensi maksiat di atas standar yang tadinya tidak bisa dicegah, kali ini bisa ditangani. Namun “lagha” atau hal-hal yang tidak penting masih bisa mempengaruhi iman kita di level ini. Maka, “lagha” inilah yang membuka jalan untuk bermaksiat. Ketika kita sibuk melakukan hal-hal yang tidak penting atau kurang bermanfaat, potensi-potensi untuk maksiat dapat mempengaruhi kita.

Bagaimana cara mencegah “lagha” ini? tentu dengan meningkatkan kualitas ibadah. Jika tadinya kita meningkatkan kuantitas, maka kali ini kualitas ibadah juga harus ditingkatkan. Seperti ketika shalat misalnya, mereka sudah banyak melaksanakan amalan shalat sunnah. Maka sekarang saatnya meningkatkan kualitas shalatnya dengan berusaha lebih khusyu’. Maka dengan berusaha meningkatkan kualitas ibadah inilah setan yang tadinya bisa menggoda lewat jalur “lagha” ini bisa tercegah. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan oleh Allah untuk tetap istiqamah dalam kebaikan. Wallahu a’lam bisshawab.

Share:

Nabi Musa dan Nabi Khidr



Kita sebagai umat Islam pasti sudah mengetahui akan ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun, yaitu surat al-Alaq ayat 1-5. Dalam ayat tersebut, terdapat banyak petunjuk dan maksud yang tidak terbatas. Diawali dengan kata Iqra (bacalah) ini merupakan fi’il amr (kata perintah). Maksudnya perintah yang pasti dan tegas untuk membaca, juga motivasi untuk belajar dan mengajar membaca.


Perintah kepada nabi Muhammad agar meminta tambahan ilmu

Dalam ayat al-Qur’an yang lain terdapat perintah guna penegasan masalah dan motivasi agar senantiasa meminta tambahan ilmu. Sebagaimana Allah berfirman:


فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلْمَلِكُ ٱلْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰٓ إِلَيْكَ وَحْيُهُۥ ۖ وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا

“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thaha (20) : 114)

Ibnu Qayyim di dalam kitabnya Miftah Dar as-Sa’dah ia berkata: ” ayat ini cukup menjadi bukti kemuliaan ilmu. Yaitu, Allah memerintahkan nabi-Nya agar meminta tambahan ilmu pengetahuan.”

Imam Zamakhsyari’ di dalam kitabnya al-Kasysyaf, ia berkata: ayat ini mengandung ketawadhu’an dan rasa syukur kepada Allah, ketika seseorang mengetahui urutan belaajar. Seakan-akan mengatakan, “Wahai Rabbku, engkau telah mengajariku kelembutan dan adab baik yang tidak ada padaku di dalam mencari ilmu. Oleh karena itu, tambahkanlah ilmuku, karena sesungguhnya engkau mempunyai ilmu dan hikmah dalam segala sesuatu”. Seorang penuntut ilmu itu tidak boleh merasa cukup, karena ilmu itu luas sehingga Allah memerintahkan untuk selalu meminta tambahan ilmu.


Kisah Nabi Musa meminta tambahan ilmu

Seorang penuntut ilmu jika semakin bertambah ilmunya maka bertambah juga wawasannya tentang keutamaan dan kedudukan ilmu. Namun juga, ketawadu’annya juga meningkat, karena ilmu bagaikan padi, semakin berisi semakin merunduk. Maknanya, penuntut ilmu tidak layak sombong dan angkuh karena ilmunya.

” Ketika Musa as. sedang berada di kerumunan Bani Israil, tiba-tiba seseorang mendatanginya, lalu bertanya “Adakah orang yang lebih berilmu darimu?”, nabi Musa menjawab “tidak”. Lalu Allah menyampaikan wahyu kepadanya, ” tentu saja ada, yaitu hamba-Ku yang bernama Khidhr”. Kemudian nabi Musa meminta agar bertemu dengannya”.

Dalam perjalanan jauh menuju ke arah Barat, nabi Musa bertemu dengan orang yang mendapat karunia ilmu yang melimpah. Lalu, nabi Musa bertanya kepada orang itu yang tidak lain adalah nabi Khidhr untuk menjadi muridnya. Nabi Khidhr menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku dan bagaimana engkau akan bersabar atas sesuatu, sedangkan engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang itu?

Kisah nabi Khidhr dan nabi Musa dimulai. Akan tetapi, nabi Khidhr meminta agar nabi Musa tidak menanyakan sesuatu apa pun sampai ia sendiri menjelaskannya. Keduanya pun melakukan perjalanan dengan menaiki sebuah perahu. Namun, di tengah perjalanan nabi Khidhr melubangi perahu itu. melihat hal itu, nabi Musa bertanya alasan ia melubangi perahu. Karena hal itu, bisa membuat penumpang di atasnya tenggelam. Nabi Khidhr mengingatkannya bahwa nabi Musa tidak akan tahan bersamanya. Lalu cerita selanjutnya, aat ia bertemu dengan seorang anak muda dan membunuhnya.

Nabi Musa pun heran dan bertanya-tanya kenapa nabi Khidhr melakukan itu? Lalu nabi Khidhr pun mengingatkannya lagi bahwa nabi Musa tidak akan mampu bersabar akhirnya nabi Musa diam dan melanjutkan perjalanan dengan nabi Khidhr. Sesampainya di sebuah kota, mereka berdua meminta untuk dijamu oleh penduduk. Tetapi, para penduduk tdak mau menjamu mereka. Nabi Khidhr melihat dinding rumah yang hampir roboh dan ia membenarkannya. Melihat hal itu, nabi Musa pun mengatakan bahwa nabi Khidhr bisa saja meminta imbalan sebagai gantinya. Mendengar hal itu, nabi Khidhr memutuskan untuk berpisah dengan nabi Musa.

Nabi Khidhr pun menjelaskan berbagai pelajaran yang terjadi selama perjalanan dengan nabi Musa. Ia mengatakan bahwa perahu yang ia lubangi merupakan milik orang miskin. Sedangkan di depannya terdapat raja yang merampas setiap perahu, maka ia melakukan hal itu untuk menyelamatkan perahu tersebut. Kemudian, anak muda yang dibunuh itu seorang kafir. Sementara orantuanya mukmin, sehingga ia khawatir anak itu membawa orang tuanya dalam kekafiran. Terakhir, ia menjelaskan perihal dinding rumah yang beliau perbaiki. Menurutnya, rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua.


Pelajaran Kisah Musa as. Menuntut Imu

Di dalam kitab al-Mufhim Abu Abbas al-Qurthubi menyampaikan bahwa dalam kisah Musa terdapat beberapa pelajaran; yaitu: perjalanan seorang ulama untuk mencari tambahan ilmu, serta dianjurkannya memanfaatkan pertemuan dengan orang-orang baik dan para ulama meskipun jaraknya jauh. Dengan sebab itu, mereka memperoleh bagian yang banyak dan mencapai usaha yang sukses. Ilmu mereka semakin mendalam dan mereka pun pantas dikenang dan mendapat pahala.

Dalam kitab Fathul Bari Ibnu Hajar al-Atsqalani meyampaikan bahwa “kedudukan nabi Musa yang tinggi dan terhormat tidak menghalanginya untuk mencari ilmu dan mengarungi lautan demi ilmu, bahkan meminta tambahan ilmu”.

Al-Mawardi di dalam kitabnya Umdah al-Qari menyebutkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Jika seseorang merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya, maka nabi Musa juga akan merasa cukup dengan ilmunya. Padahal dalam surat al-Kahfi ayat 66 dia berkata, “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajariku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Share:

Hasan al-Banna dan Pencuri




Hasan al-Banna dikenal sebagai seorang ulama, guru dan imam asal Mesir. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa rumah Hasan al-Banna pernah didatangi pencuri yang pada akhirnya justru tak mengambil harta apapun. Hasan al-Banna memiliki nama lengkap Hassan Ahmad Abdul Rahman Muhammad al-Banna. Ia termasuk tokoh yang sangat terkenal di Mesir.

Diceritakan dalam buku Kisah dan 'Ibrah oleh Syofyan Hadi, bahwa Hasan al-Banna terkenal dengan ilmunya sangat luas serta kesalehannya kepada Allah SWT. Saking cintanya dengan ilmu, Hasan al-Banna memiliki sebuah perpustakaan khusus yang mengoleksi ribuan jumlah buku di rumahnya.

Pada suatu malam, datanglah beberapa orang pencuri ke rumah Hasan al-Banna. Hasan al-Banna beserta keluarga disandera di dalam rumah oleh kawanan pencuri tersebut. Dengan demikian, secara leluasa para pencuri dapat menguras isi rumah Hasan al-Banna.


Setelah puas menguras harta dan isi rumahnya, para pencuri mulai melirik buku-buku yang ada di lemari perpustakaan Hasan al-Banna. Para pencuri pun bergerak membuka lemari dan bermaksud mengambil buku-buku milik Hasan al-Banna. Tak rela koleksi bukunya diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, Hasan al-Banna kemudian berkata, "Kalian boleh

mengambil seluruh isi rumah ini semuanya, kecuali aku bermohon kepada kalian agar jangan mengambil satupun dari buku-buku ini. Sebab, buku-buku ini sangat berharga bagiku melebihi semua hartaku yang lain. Pada buku-buku ini tersimpan ilmu yang aku miliki". Mendengar perkataan Hasan al-Banna, pencuri ini justru mengeluarkan kalimat yang sama sekali tak terduga.

"Saya heran, baru kali ini saya melihat seorang ulama besar yang merasa takut buku-bukunya diambil. Saya tahu kenapa engkau takut buku-buku ini diambil, karena engkau belumlah meletakan ilmu yang ada pada buku-buku di dalam hati dan dadamu. Ilmu-ilmu itu masih tersimpan di dalam kertas-kertas ini. Ketahuilah, Hai Hasan al-Banna! Bahwa ilmu itu ada di dalam dada, bukan pada kertas-kertas ini. Jika semua yang ada di kertas ini sudah engkau pindahkan ke dalam dadamu, tentulah ini semua tidak ada artinya bagimu dan tentu engkau tidak akan takut jika kertas-kertas ini dicuri oleh orang lain," ujar seorang pencuri.

Usai mengucapkan kalimat tersebut, para pencuri ini pergi meninggalkan rumah Hasan al-Banna tanpa membawa harta dan barang apapun. Mendengarkan ucapan pencuri itu, Hasan al-Banna terdiam serta meminta ampun kepada Allah SWT atas kelalaiannya terhadap ilmu. Dia menyesali dirinya yang tidak memindahkan ilmu yang ada di buku itu ke dalam dadanya.

Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, jika seseorang mencintai ilmu, maka tidaklah ada yang lebih berharga dalam pandangannya selain buku-buku yang menjadi sumber ilmu. Dia akan rela menghabiskan uangnya, mengurangi belanjanya jika sudah mencintai buku dan ilmu. Bahkan, ia akan menjadi budak buku dan ilmu.

Ilmu tidak akan ada habisnya, dan seorang muslim dianjurkan menuntut ilmu. Banyak hadits yang menjelaskan pentingnya ilmu dalam kehidupan.

Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim).

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bahkan mengatakan bahwa menuntut ilmu sama halnya seperti sedang berjihad,

مَنْخَرَجَفِىطَلَبُالْعِلْمِفَهُوَفِىسَبِيْلِاللهِحَتَّىيَرْجِعَ

Artinya: "Barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang," (HR Tirmidzi).

Dengan ilmu juga, seseorang bisa mendapat keutamaan di dunia sekaligus akhirat, sebagaimana hadits Rasulullah SAW,

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ

Artinya: "Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu," (HR Ahmad).


Share:

Kamis, 01 Agustus 2024

Jadi Pengemis Pun Dilakukan agar Tetap Bisa Belajar


Pria itu datang jauh dari Andalusia ke Baghdad dengan susah payah berjalan kaki untuk belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal. Sesampainya di negeri tujuan, ia selalu menyamar menjadi pengemis setiap hendak belajar kepada guru yang dicarinya. Ia khawatir, jika identitasnya terbongkar, nyawa gurunya akan terancam. Bagaimana kisah lengkapnya?   

Memiliki nama lengkap Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad al-Qurthubi, ulama kelahiran Andalusia ini dikisahkan memiliki etos belajar yang kuat. Kondisi ekonominya yang serba kekurangan tidak menyurutkan tekadnya untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lain demi menimba ilmu ke sejumlah ulama. Di antara negara-negara yang pernah ia singgahi adalah Andalusia, Maroko, Aljazair, Tunis, Libia, Mesir, Palestina, dan Yordania.    Salah satu kisah pengembaraan Baqi dalam menuntut ilmu dikisahkan oleh Syamsuddin adz-Dzahabi ketika ulama mulitidispliner ini hendak menimba ilmu hadits kepada Imam Ahmad bin Hambal. 

Dikisahkan, sekali waktu Baqi melakukan perjalanan jauh dari Makkah ke Baghdad, tujuan utamanya adalah untuk menuntut ilmu. Jika sudah sampai di negara tujuan, ia berencana berguru hadits kepada Imam Ahmad bin Hambal. Begitu hampir tiba di tujuan, ia mendengar kabar buruk bahwa ulama yang hendak dijadikan gurunya itu sedang dicekal, dilarang mengadakan kegiatan belajar-mengajar dengan murid-muridnya sebagaimana biasanya.   

Kabar itu tidak menyurutkan Baqi untuk melanjutkan niatnya berguru kepada ulama yang sangat dihormatinya. Sesampai di Baghdad, ia menyewa tempat untuk menginap. Saat ke masjid, ia melihat ada halaqah seorang ulama yang tampak sedang mengajar murid-muridnya. Pengajar itu ternyata Yahya bin Ma’in, teman seperguruan Ahmad bin Hambal. 

Kesempatan ini dimanfaatkan Baqi untuk bertanya banyak hal kepada Yahya. Ia bertanya tentang guru-guru yang pernah ia temui untuk dinilai kredibilitasnya sebagai seorang perawi. Terakhir, ia bertanya tantang Ahmad bin Hambal. Yahya menjawab, “Bagaimana kami berani menilai Ahmad bin Hambal! Beliau adalah imam kaum muslimin, orang terbaik dan paling utama.”    

Selesai bertanya tentang banyak hal, Baqi meminta alamat rumah Imam Ahmad. Setelah berhasil mendapatkan alamat rumah dan berjumpa di kediamannya, ia kemudian berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Abu Abdillah, aku datang dari jauh. Ini merupakan pertama kali aku datang ke negeri ini. Tujuanku satu, ingin belajar hadits kepada tuan.”  “Masuklah, jangan sampai ada orang yang melihatmu,” kata Imam Ahmad.  “Dari mana sebenarnya asalmu?”  “Dari ujung barat?

“Afrika?”  “Lebih jauh dari Afrika. Untuk pergi dari negeri hingga ke Afrika harus mengarungi lautan. Aku berasal dari Andalusia.”    “Jauh sekali negerimu. Aku sangat senang sekali jika bisa membantumu. Hanya saja aku sedang mendapat ujian, aku tidak diperbolehkan membuka majelis ilmu. Kau mungkin sudah mendengarnya.”

“Benar, aku tahu itu. Jika tuan mengizinkan, aku akan tetap rutin datang ke sini untuk belajar hadits. Agar tidak ada yang curiga, aku akan menyamar menjadi pengemis setiap kali ke sini. Nanti, jika aku sudah sampai di pintu, tuan bersikap kepada saya layaknya menemui pengemis. Jika setiap hari tuan bisa menyampaikan satu hadis saja untukku, itu sudah cukup.”    “Boleh, syaratnya kedatanganmu tidak diketahui olah orang lain, sekalipun oleh para muhaddits (ahli hadits.”  “Baik, aku setuju dengan syarat tuan.”    Esoknya, Baqi datang ke rumah Imam Ahmad dengan memegang sebuah tongkat dan menutup kepalanya menggunakan kain kotor. Ia pun berkata layaknya seorang pengemis. “Semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada tuan, semoga Allah memberikan rahmat kepada tuan, orang yang meminta sudah berada di dekat rumahmu.”    

Kemudian Imam Ahmad menemuinya dan menyampaikan dua sampai tiga hadits. Hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama.  Hingga akhirnya Imam Ahmad diizinkan kembali untuk membuka pengajaran. Karena sudah mengetahui kesabaran Baqi dalam menuntut ilmu, ia menempatkannya di tempat khusus di dalam majelisnya. Ia juga sering menyampaikan kisah teladan kesungguhan pria Andalusia ini kepada murid-murid di pengajiannya. (Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala, juz XVI, halaman 26).   

Diketahui, Imam Ahmad bin Hambal memiliki julukan Pimpinan Ahlusunnah wal Jama’ah. Panggilan kehormatan ini tidak disematkan kepada tiga imam madzhab lainnya, Imam Hanafi, Malik, dan Syafi’i, padahal Ahmad bin Hambal lahir paling terakhir setelah mereka. Alasannya, Ahmad bin Hambal dinilai sebagai ulama pejuang Ahlusunnah wal Jama’ah yang andal. Ia sempat mengalami cobaan berat untuk memperjuangkannya.   Muhammad Ismail al-Muqaddam menegaskan:   

والإمام أحمد يلقب بإمام أهل السنة، مع أنه آخر الأئمة الأربعة، ولم يقل ذلك في حق الإمام الشافعي أو الإمام مالك أو أبي حنيفة؛ لأنهم لم يدركوا المحنة، فالأئمة الثلاثة ما أدركوا هذه المحنة، وإنما أدركها الإمام أحمد بن حنبل، وثبت فيها، فمن ثمَّ أطبقت الأمة على اعتباره إماماً لأهل السنة؛ لصبره الشديد في هذه المحنة



Artinya, "Imam Ahmad dijuluki sebagai Imam Ahlusunnah wal Jama’ah. Gelar ini tidak dimiliki oleh tiga imam lainnya, padahal ia lahir setelah mereka. Alasannya, semasa hidupnya Ahmad bin Hambal sangat gigih memperjuangkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah ini. Ia banyak mengalami ujian berat untuk mempertahankan prinsipnya.”

Share: