IMAN KEPADA ALLAH
Kita mengimani rububiyah Allah,
artinya bahwa Allah adalah Rabb:
Pencipta, Penguasa dan Pengatur sega- la yang ada di alam semesta ini.
Kita mengimani uluhiyah Allah, artinya Allah adalah Ilaah (Sembahan) Yang Haq, sedang
segala sembahan selain-Nya adalah batil.
Kita mengimani asma’ dan
sifat-Nya, artinya bahwa Allah memiliki nama-nama yang maha indah serta
sifat-sifat yang maha sempurna dan maha luhur.
Dan kita mengimani keesaan Allah dalam hal itu semua, artinya bahwa
Allah tiada sesuatu pun yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah maupun dalam asma’ dan sifat-Nya.
Firman Allah :
“(Dia adalah) Tuhan
seluruh langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Maka sem-
bahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Adakah kamu
mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?”(Surah Maryam: 65)
Kita mengimani bahwa:
“Allah, tiada
sembahan (yang haq) selain Dia, yang Maha Hidup lagi Maha Menegakkan (segala
urusan makhluk-Nya), tidak pernah mengantuk dan tidak pernah pula tidur. Hanya
milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tiada yang dapat
memberikan syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak dapat mengetahui sesuatu pun ilmu dari-Nya kecuali dengan kehendak- Nya. Kursi-Nya
meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidaklah merasa berat memelihara kedua-nya,
dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Surah Al-Baqarah: 255)
“Dialah Allah, yang
tiada sembahan (yang haq) selain Dia, Yang mengetahui yang ghaib dan nyata.
Dialah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, yang tiada
sembahan (yang haq) selain Dia. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang
Mengaruniai Keamanan, Yang Maha Meme- lihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha
Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah
Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Nama-nama Yang Maha In- dah. Bertasbih kepada-Nya semua yang ada di langit dan
di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surah Al-Hasyr: 22-24)
“Hanya milik Allah
kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dia membe-
rikan anak perempuan kepada siapa yang dikehen- daki-Nya dan
memberi anak laki-laki
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan
perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Surah Asy-Syura:
49-50)
Kita mengimani bahwa Allah:
“…Tiada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hanya
milik-Nya perbendaharaan langit dan bumi, Dia me- lapangkan rizki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan(nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Surah Asy-Syura: 11- 12)
“Tiada sesuatu pun
yang melata di bumi ini mela- inkan hanya Allah yang menjamin rizkinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyim- panannya. Semua itu tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Surah Hud: 6)
“Hanya pada-Nya
kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahui-Nya kecuali Dia sendiri;
dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai
daun pun yang gugur mela- inkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tiada sesuatu pun yang basah atau
yang kering kecuali ter- tulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Su- rah Al-An’Am:
59)
“Sesungguhnya hanya
pada Allah pengetahuan ten- tang (kapan datangnya) Kiamat dan (waktu) Dia
menurunkan hujan, dan Dia mengetahui apa yang dikandung dalam rahim. Tiada
seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui di bumi manakah dia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surah Luqman: 34)
Kita mengimani bahwa Allah berfirman apa yang dikehendaki-Nya, kapan
saja Dia menghendaki dan dengan cara yang Dia kehendaki:
“…Dan Allah telah berfirman langsung kepada
Nabi Musa dengan sebenar-benarnya.” (Surah An-Nisa’: 164)
“Dan Kami telah
memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami dekatkan ia untuk
bermunajat (ketika Kami berfirman langsung kepadanya).” (Surah Maryam: 52)
Dan kita mengimani bahwa:
“…Seandainya seluruh laut dijadikan tinta
untuk (menulis) firman Tuhanku, niscaya habislah laut itu sebelum habis firman
Tuhanku…” (Surah Al-Kahf: 109)
“Seandainya segala
pohon yang ada di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepada- nya tujuh laut lagi sesudah (kering)nya
(untuk menulis firman Allah),
niscaya tidak akan habis fir- man Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (Surah Luqman: 27)
Kita mengimani bahwa firman Allah adalah yang paling benar berita-Nya,
paling adil keputusan-Nya, dan paling baik penuturan-Nya. Firman Allah :
“Dan siapakah yang
lebih benar perkataannya daripada Allah?” (Surah An-Nisa’: 87)
Kita mengimani bahwa
Al-Qur’an Al-Karim adalah kalamullah (firman Allah),
difirmankan Allah dengan haq kepada Jibril, lalu dibawa turun Jibril dan
disampaikan ke dalam hati Nabi Muhammad .
Firman Allah :
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar diturun-
kan oleh Rabb semesta alam, dibawa turun oleh Ar- Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang- orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (Surah Asy-Syu’ara:
192-195)
Kita mengimani bahwa Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, baik
dzat maupun sifat-sifat-Nya, karena Allah telah berfirman:
“…Dan Dia-lah Yang
Maha Tinggi dan Maha Agung.” (Surah Al-Baqarah: 255)
“Dia-lah Yang Maha Berkuasa, di atas sekalian
hamba-hamba-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Bijak- sana
lagi Maha Mengetahui.” (Surah Al-An’am: 18)
Dan kita mengimani bahwa Allah berada di atas ‘Arsy, seperti disebutkan
dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Rabbmu
ialah Allah Yang telah men- ciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemu-
dian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, mengatur segala urusan…” (Surah Yunus: 3)
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy, ialah bersemayamnya Dia di atas ‘Arsy sesuai dengan
kemuliaan dan keagungan-Nya, tiada yang dapat mengetahui hakekat Istiwa’ Allah
tersebut kecuali Dia sendiri.
Kita mengimani bahwa Allah meskipun di atas ‘Arsy-Nya, Dia senantiasa
bersama makhluk-Nya: mengetahui segala ihwal mereka, mendengar segala perkataan
mereka, melihat segala perbuatan mereka, mengatur segala urusan mereka,
memberikan rizki kepada siapa yang memerlukan, mencukupi yang kekurangan,
memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, memuliakan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan menghinakan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Hanya
di tangan-Nya segala kebaikan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.1) Kalau Allah
itu demikian halnya, maka benar-benar Dia bersama makhluk- Nya sekalipun Dia
berada di atas mereka, di atas ‘Arsy dengan sesungguhnya
“Tiada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Surah Asy-Syura: 11)
Kita tidak sependapat dengan Hululiyah2),
seperti : Jahmiyah3) dan lainnya, yang
berpendapat bahwa Allah berada di bumi ini bersama makhluk-Nya. Dan kita berpandangan
bahwa orang yang berpendapat demikian
adalah kafir atau sesat, karena dia telah memberikan kepada Allah sifat
yang tidak layak dengan keagungan-Nya.
Kita pun mengimani berita tentang Allah yang telah disampaikan oleh
Rasulullah bahwa: “Allah –Tabaraka wa
Ta’ala- pada setiap malam turun ke langit terendah ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir,
seraya berfir- man:
“Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan do’anya,
barangsiapa yang memohon kepada-Ku akan Aku beri permohonannya, dan ba-
rangsiapa yang meminta ampunan maka akan Aku ampuni dosanya.”4)
Kita mengimani bahwa Allah, akan datang pada hari Kiamat untuk
memberikan keputusan kepada para hamba- Nya, sebagaimana firman Allah :
“Janganlah demikian!
Apabila bumi digoncangkan berturut-turut dan datanglah Tuhanmu sedang para
malaikat berbaris-baris. Dan pada hari itu didatang- kan neraka Jahannam, pada
hari itu ingatlah manu- sia akan tetapi tidak berguna lagi peringatan itu
baginya.” (Surah Al-Fajr: 21-23)
Kita mengimani bahwa Allah :
“Maha Berbuat apa
yang dikehendaki-Nya.” (Surah Al-Buruj: 16)
Kita mengimani bahwa iradah (kehendak)
Allah itu ada dua macam:
1.
Iradah Kauniyah, artinya segala yang
dikehendaki Allah pasti terjadi,
tetapi tidak mesti hal itu dicintai-Nya. Inilah yang disebut dengan Masyi’ah. Firman
Allah : “…Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka ber- bunuh-bunuhan. Akan
tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Surah Al-Baqarah: 253)
“…Jika Allah
menghendaki untuk menyesatkanmu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu di-
kembalikan.” (Surah Hud: 34)
2.
Iradah Syar’iyah, yaitu apa yang
dikehendaki oleh Allah kepada hamba-Nya, yang sifatnya
tidak mesti terjadi, tetapi apa yang dikehendaki-Nya ini adalah sesuatu yang
dicintai-Nya.
Firman Allah:
“Dan Allah hendak menerima taubatmu…” (Surah An-Nisa’: 27)
Kita mengimani bahwa iradah Allah, yang Kauniyah maupun Syar’iyah,
adalah sesuai dengan sifat hikmah (kebi- jaksanaan)-Nya. Segala hal yang
ditentukan Allah dalam alam semesta ini atau syari’at yang telah diperintahkan
Allah kepada umat manusia untuk beribadat kepadanya, sesungguhnya adalah untuk
suatu hikmah dan sesuai dengan sifat hikmah (kebijaksanaan)-Nya, baik hikmah
itu dapat kita ketahui atau akal pikiran
kita tidak mampu untuk mengetahuinya. Karena Allah telah berfirman:
“Bukankah Allah itu
Hakim yang sebijak-bijaknya?”(Surah At-Tin: 8)
“… Dan tiada yang
lebih bijak hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang meyakini.” (Surah Al Ma’idah:
50)
Kita mengimani bahwa Allah mencintai para auliya’-Nya dan mereka pun
mencintai-Nya, sebagaimana firman Allah :
“Katakanlah
(Muhammad): “Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya
Allah akan mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu…” (Surah Al-‘Imran: 31)
“…maka Allah tentu
akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka pun mencintai-Nya…” (Surah Al-Mai’dah:
54)
“…Dan Allah itu mencintai orang-orang yang sabar.”
(Surah Al-‘Imran: 146)
“…Dan berbuat
baiklah, sesungguhnya Allah men- cintai orang-orang yang berbuat baik.” (Surah Al- Baqarah:
195)
Kita mengimani bahwa Allah meridhai segala amal dan ucapan yang
disyari’atkan-Nya dan membenci segala
hal yang dilarang-Nya, firman-Nya:
“Jika kamu kafir,
maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi para hamba-Nya. Tetapi jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu.” (Surah Az- Zumar: 7)
“…tetapi Allah tidak
menyukai keberangkatan mere- ka, maka Allah melemahkan keinginan mereka dan
dikatakan kepada mereka: ‘Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal
itu.” (Surah At-Taubah: 46)
Kita mengimani bahwa Allah meridhai orang-orang yang beriman dan beramal
shalih, firman-Nya:
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu, adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (Surah Al- Bayyinah:
8)
Kita pun mengimani bahwa Allah murka kepada orang- orang kafir dan selain mereka yang berhak mendapatkan kemurkaan-Nya.
Firman Allah :
“…(yaitu) Orang-orang
yang berprasangka buruk ke- pada Allah, mereka akan mendapat giliran kebinasa-
an yang amat buruk dan Allah murka kepada mereka…” (Surah Al-Fath: 6)
“…Akan tetapi orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (Surah An-Nahl: 106)
Kita mengimani bahwa Allah mempunyai wajah yang disifati-Nya dengan
keagungan dan kemuliaan, firman Allah:
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu, yang mempunyai
keagungan dan kemuliaan.” (Surah Ar-Rahman: 27)
Kita mengimani bahwa Allah mempunyai dua Tangan yang Agung lagi Mulia,
firman-Nya:
“… tetapi kedua Tangan Allah terbuka; Dia menaf-
kahkan sebagaimana yang dikehendaki-Nya …” (Surah Al-Ma’idah: 64)
“Dan mereka tidak mengagungkan
Allah dengan peng- agungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan seluruh langit digulung dengan
Tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan.” (Surah Az-Zumar: 67)
Kita mengimani bahwa Allah mempunyai dua mata yang sebenarnya,
firman-Nya:“Dan buatlah bahtera itu
dengan (pengawasan) mata Kami…” (Surah
Hud: 37)
Sabda Nabi:
“…Tabir Allah itu adalah Nur. Andaikata dibuka-Nya
niscaya sinar kemuliaan Wajah-Nya akan mem-bakar segala makhluk-Nya yang
terkena pandangan Mata- Nya…”5)
Dan Ahlus Sunah sepakat bahwa Mata Allah adalah dua, berdasarkan sabda
Nabi tentang Dajjal:
“Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya,
tetapi Tuhanmu tidaklah buta sebelah mata-Nya.”6)
Kita mengimani bahwa Allah :
“Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia mengetahui segala yang melihat.
Dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Surah Al-An’am: 103)
Kita mengimani bahwa kaum Mu’minin akan melihat Allah pada hari Kiamat,
sebagaimana firman-Nya:
“Wajah-wajah (kaum mu’minin) pada hari itu berseri- seri, kepada Tuhannya mereka
melihat.” (Surah Al- Qiyamah: 22-23)
Kita mengimani bahwa Allah tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya,
karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
“…Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Surah Asy-Syura: 11)
Kita mengimani bahwa Allah tidak pernah mengantuk
dan tidak pernah pula tidur, karena Dia Maha Hidup dan Maha Menegakkan
urusan makhluk-Nya; tidak berlaku zhalim, karena Dia Maha Adil; tidak lalai
terhadap segala amal perbuatan hamba-Nya, karena Dia Maha Awas dan Maha
Mengetahui.
Kita mengimani bahwa tidak ada sesuatu di langit atau di bumi yang sulit
bagi Allah, karena Dia Maha Tahu dan Maha Kuasa. Firman-Nya:
“Sesungguhnya
perintah Allah apabila menghendaki sesuatu hanyalah dengan berfirman kepadanya:
”Ja- dilah!” maka terjadilah ia.” (Surah Yasin: 82)
Dan bahwa Allah tidak pernah letih atau penat, karena Dia Maha Kuat.
Firman-Nya:
“Dan sungguh telah kami ciptakan langit dan
bumi serta apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit
pun tidak ditimpakan kele- tihan.” (Surah Qaaf: 38)
Kita mengimani kebenaran seluruh asma’ dan sifat bagi Allah, yang
telah ditetapkan langsung
oleh Allah dan ditetapkan oleh
Rasulullah. Tetapi kita menjauhkan diri dari dua larangan besar, yaitu: tamtsil ialah mengatakan dalam hati atau
lisan bahwa sifat Allah itu seperti sifat makhluk; dan takyif ialah mengatakan dalam hati atau de- ngan lisan bahwa
hakekat sifat Allah adalah demikian.
Dan kita mengimani kesucian Allah dari segala sifat yang telah dinafikan
(ditolak) langsung oleh Allah dan dinafikan (ditolak) oleh Rasulullah, dengan mengimani bahwa penafian
(penolakan) tersebut mengandung penetapan kesempurnaan sifat yang sebaliknya.7)
Adapun sifat yang tidak difirmankan oleh Allah dan tidak disabdakan oleh
Rasul-Nya, tidak ditetapkan dan tidak pula dinafikan, maka dalam hal ini kita
bersikap diam. Kita berpandangan
bahwa menempuh jalan (cara) ini adalah wajib, tidak boleh ditawar lagi. Hal ini
demikian, karena apa yang telah ditetapkan dan dinafikan oleh Allah terhadap
diri-Nya adalah berita yang disampaikan Allah mengenai diri-Nya. Dan Dia-lah Yang
Maha Tahu akan diri- Nya sendiri, lebih benar firman-Nya dan lebih baik
penuturan-Nya. Sedang makhluk tidak akan dapat menge- tahui hakekat Allah
dengan sebenar-benarnya. Begitu pula apa yang telah ditetapkan atau
dinafikan oleh Rasulullah terhadap
Allah adalah berita yang disampaikan Rasulullah tentang Allahsedangkan
beliaulah manusia yang paling mengetahui Allah, hamba yang paling jujur, paling
benar dan paling jelas keterangannya.
Sifat yang dinafikan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah sifat yang tak
sempurna dan tak layak bagi Allah,
sebagaimana telah disebutkan di atas, seperti: zhalim, lalai, letih dan
sebagainya. Dan penafian terhadap sifat-sifat ini mengandung penetapan
kesempurnaan sifat yang sebaliknya. Contohnya: sifat zhalim, telah dinafikan
oleh Allah dalan Al-Qur’an, ini menunjukkan bahwa Allah adalah Maha Adil.
Hanya dalam firman Allah dan sabda Rasulullah terdapat ilmu yang
sempurna, kebenaran yang hakiki dan keterangan yang jelas. Karena itu, tidak
ada alasan untuk menolaknya atau ragu-ragu di dalam menerimanya.
Nash-Nash Al-Qur’an dan Sunnah Wajib Ditetapkan dan Dipahami Menurut
Zhahir dan Hakekatnya Yang Sesuai Dengan Kemuliaan dan Keagungan Allah.
Semua hal yang telah disebutkan tadi tentang sifat-sifat Allah, secara terinci atau
global, baik itu berupa itsbat (penetapan)
ataupun nafy (penolakan), dalam
masalah terse- but kita benar-benar berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah dan
berpijak pada manhaj yang telah
dianut para salaf dan imam pembawa kebenaran yang datang sesudah mereka. Kita berpandangan
bahwa nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah wajib ditetapkan dan dipahami menurut
zhahir dan hakekatnya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah.
Tetapi kita menjauhkan diri dari cara-cara:
-
Ahli tahrif,
yaitu orang-orang yang menyelewengkan nash-nash dari makna sebenarnya yang
dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya kepada makna yang lain.
-
Ahli ta’thil,
yaitu orang-orang yang mengingkari makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, yang terkandung dalam nash-nash
tersebut.
-
Ahli ghuluw,
yaitu orang-orang yang bertindak melam- paui batas dengan memahami nash-nash
tersebut secara tamstil (menyerupakan
Allah dengan sifat makhluk) atau bersusah payah melakukan takyif (menentukan bahwa hakekat sifat Allah itu adalah demikian).
Kita meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa apa yang disebutkan dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah adalah haq, tidak ada pertentangan antara satu nash
dengan nash lain. Karena Allah telah berfirman:
“Apakah mereka tidak memperhatikan (dengan
seksa- ma) Al-Qur’an ini? Andaikata Al-Qur’an ini berasal dari selain Allah
niscaya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Surah An- Nisa: 82)
Selain itu, karena pertentangan di antara berita-berita berarti
pendustaan berita yang satu terhadap berita yang lain. Padahal ini adalah
mustahil dalam berita yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
mengaku bahwa ada pertentangan dalam Kitab Allah, atau dalam Sunnah Rasulullah,
atau di antara keduanya; maka orang tersebut mempunyai maksud jahat dan hatinya
telah menyimpang dari kebenaran. Maka hendaklah ia segera bertaubat kepada
Allah dan melepaskan diri dari kesesatannya.
Dan barangsiapa berprasangka bahwa ada pertentangan dalam Kitab Allah
atau dalam Sunnah Rasulullah, atau di antara keduanya; itu disebabkan karena
ilmunya yang sedi- kit, atau pemahamannya yang masih kurang, atau perhatian
yang dicurahkan belum cukup. Maka hendaklah ia menuntut ilmu dan
bersungguh-sungguh di dalam memahami, sehingga akan jelas
baginya kebenaran. Jika belum juga jelas baginya kebenaran tersebut, hendaklah
ia memasrahkan masalah ini kepada Allah Yang Maha Tahu dan menghilangkan
prasangkanya tadi serta mengatakan seba- gaimana yang dikatakan oleh
orang-orang yang telah mendalam ilmu pengetahuannya, seperti difirmankan Allah
:
“…Dan orang-orang yang mendalam ilmu pengeta-
huannya mereka berkata: ‘Kami beriman kepadanya. Semuanya itu dari sisi Tuhan
kami…” (Surah Al ‘Imran: 7)
Kemudian, hendaklah ia meyakini bahwa tidak ada pertentangan serta
perselisihan dalam Kitab Allah, atau dalam Sunnah Rasulullah, atau di antara
keduanya.